Oleh: Alfi Bi-ka.
Bab 4
Haters.
Suasana gembira dan hangat menyelimuti kehadiran Kurdi, yang membuat seisi keluarga dan rumah gembira ria. Pohon mangga yang selalu berbuah, menari dengan indah menyambut kedatangannya. Pohon jambu yang menjadi tempat tidur ayam kampung bergoyang seirama dengan angin.
Bibi Kurdi yang biasa berwajah masam karena harga karet turun drastis, kini menjadi sumringah dengan kedatangan Kurdi. Uwaknya yang sempat merajuk karena merasa dilupakan oleh keluarganya kini merasa bahagia. Datanglah sang keponakan untuk menengoknya. Anak tetangga dan keponakan pun tersenyum ketika Kurdi menyapa mereka, semua menyambutnya dengan senyuman hangat seperti selebriti show.
Dan jelas yang paling bahagia dari keluarga tersebut adalah Sang Kakek dan Nenek yang selama ini mengharapkan seorang calon pengganti di masa tua mereka. Kebahagiaan tersebut menjadi kabar top di kampung kelahiran Kurdi.
Para orang tua banyak membicarakannya. Anak kampung yang tak punya apa-apa setelah di tinggal wafat oleh Ibunya.
“Mungkin sekarang anak itu sukses di rantau. Kepedihan dalam hidup membuat dia bertahan dan cara dia bertahan adalah dengan pergi dari kampungnya.” berujar seorang paruh baya yang sedang melihat Kurdi dikerumuni para tetangga dan anak-anak.
Banyak yang bertanya kepada Kurdi bagaimana supaya kita mampu betah di rantau. Seperti apa orang-orang di kota? Apakah mereka sama seperti kita atau mereka orang berkelas yang hidup seperti di dalam cerita sinetron.
Sesekali aku menjawab pertanyaan tersebut dengan singkat. Intinya kita harus banyak belajar dan menyesuaikan.
Ketika keramaian telah usai. Pesan singkat berdering masuk di gawaiku. Pesan tak bernama. Hanya nomor yang tertera. Dari 08xxxx…
“Sobat sudah lamakah kau tiba? Pasti kau lupa dengan diriku?” ketika Kurdi akan balas pesan tersebut, koneksi jaringan tetiba hilang. Pesan tidak terkirim. Begitu yang tertera.
Kurdi menghela napas dan bertanya dalam hati “Siapa pengirim pesan tadi. Mengapa dia hanya menggunakan inisial MJD? Atau dia ingin mempermainkanku saja. Dasar haters, aku bukanlah ahli persandian yang dapat membaca sebuah kode tertentu.”
“Ah, mungkin orang yang iseng saja atau modus untuk mengelabuhi dengan informasi aneh dan tak jelas. Seperti keluargamu di rumah sakit, Ayah habis pulsa tolong kirimi atau saudara kamu ada yang terluka. Ah, basi. Sekali lagi aku tak bisa ditipu.” Kurdi berujar dengan nada menggerutu.
Pesan tadi membuat Kurdi berpikir sejenak. “Apa mungkin Majadi?” ia coba menebak dalam hatinya.
“No, no, ia tidak ada kabar sampai saat ini. Bahkan berita yang aku dengar dari Diansyah masih ambigu. Keberadaannya tak terdengar sama sekali. Ia mirip angin bertiup dan hilang.”
Gawai kembali berdering. Pesan tersebut muncul pada notification. Dan pesan itu terbaca dari Diansyah yang sedang menunggunya. Setelah beberapa hari di kampung, Kurdi kembali menemui Diansyah. Kurdi ingin mengajaknya lagi ke Pelabuhan Tanjung Si Api-api.
Pelabuhan itu tambah cantik saja setelah diresmikan pada beberapa tahun sebelumnya. Bangunannya terus dirapikan. Dermaga yang dapat menampung puluhan kapal feri. Dermaga yang menampung peti kemas dari dalam dan luar negeri bertengger di situ. Ditambah lapangan container yang luas menambah daya tarik para pengusaha laut untuk menyimpan barang-barang ekspor dan impor mereka.
Tapi seperti biasa tempat tersebut sangat panas. Diperlukan kendaraan roda empat untuk berlabuh di dermaga tersebut dan sangat jauh. Kurang lebih 80 kilometer. Lebih jauh jika ditempuh dari kampung Kurdi. Jika Kurdi masih nekat untuk ke sana, ia membutuhkan satu hari perjalanan untuk sampai di dermaga.
Ia akhirnya memutuskan untuk menemui Diansyah di rumahnya. Karena dari awal mereka bertekad ingin mencari Majadi bersama-sama. Mereka ingin tahu keadaannya seperti apa.
Bel di sebelah pintu ditekan Diansyah. Terdengar deringan suara seperti burung berteriak memekik beberapa kali. “Kikuk.Kikuk. Kikuk.” Pintu terbuka lebar.
“Aku sudah menduga kalau itu kau,” ucap Kurdi dengan menebak kedatangan Diansyah sambil tersenyum dan mempersilakannya masuk.
“Kau sepertinya santai sekali beberapa minggu ini,” sahut Kurdi pada Diansyah yang mengambil posisi duduk santai.
“Aku bekerja di Kapolda dan aku bagian lapangan. Aku selalu berada di luar. Jadi aku jarang ngantor.” timpalnya dengan santai.
(***)