Close Ads Here
Close Ads Here
Close Ads Here
Close Ads Here

Cerbung: Birunya Langit (Bagian 2)

Oleh: Alfi Bi-ka

Bab 2

Birunya Langit.

Tataplah mataku. Ada cinta di permukaannya. Malam ini menjadi catatan terindah yang pernah kami ukir dalam kehidupan, karena kami akan segera berlabuh di tempat lain. Tempat yang tidak pernah kami prediksi sama sekali. Tapi aku selalu mengharapkan, bahwa tempat baru selalu eksotis dan dapat menciptakan peluang baru. Bukankah hidup kita berpindah dari satu fase ke fase selanjutnya. Gelagat tawa banyak ditemukan di tempat baru. Ada cerita cinta yang merdu mengalir syahdu di sana.

“Jangan sampai kau tak menemukannya, Kawan.” Ahmadiansyah baru saja berujar di depannya seperti seorang penyair yang lagi tampil di atas pentas.

Sejak kapan ia dapat merangkai kata-kata yang indah itu. Jangan-jangan sekarang ia merubah bacaannya yang dahulu gemar keilmiahan berganti kefiksian. Atau bisa juga ia sudah mengenal Mark Twain seorang penulis novel Amerika atau Mori Yoko pengarang asal Jepang.

”Terserah kau saja, Kawan,” ungkap Kurdi padanya yang terkekeh sambil tertawa kecil.

Kurdi termenung mendengar ucapan yang sarat akan makna itu. Otaknya mengalir memikirkan setiap kata yang meluncur dari lisan Diansyah tadi.

“Anak kampong ini membuatku kagum,” pekik Kurdi dalam hati. Ia tak berhenti. Ia kembali berujar dengan santainya.

“Malam terasa indah. Panggung dunia terus menari. Tiupan sangkakala mendayu-dayu. Angin malam berputar ligat. Bintang kurio menari indah di langit biru. Gelagat tawa memuncak di atas loteng bumi. Anak muda beradu cerita tentang dunia. Mereka tertawa geli menatap langit biru. Sekali lagi kurio itu muncul memberikan tanda. Bahwa dunia milik mereka. Mari kita buat langit biru itu tertawa oleh kita.” tutur Diansyah sambil menatap Kurdi dengan senyuman khas disertai kumisnya yang sedikit naik ke atas.

Hari semakin malam.
Mereka coba mengganti suasana ke tempat lain. Yaitu Dermaga Tanjung Si Api-api. Dermaga Tanjung Si Api-api menjadi saksi bisu antara mereka berdua.

Malam-malam menjelma menjadi pusaran kehidupan yang indah. Angin-angin kecil menyapa kegelapan di Tanjung Si Api-api.

Merekah tawa dan gelagat cinta berkumandang di langit-langit biru. Anak dermaga tetaplah di sana melukis indah langit biru tertawa jika perlu sampai tua.

“Kurdi menurutmu apakah mungkin orang yang berada di atas kehidupan dapat melupakan orang terdekatnya?” Diansyah coba bertanya kepada Kurdi yang nampak bersembunyi dari kelelahan.

Sebenarnya mereka di titik nadir dalam pencarian sahabat kecil yang dahulu pernah bersama mereka. Dengan menghirup udara dermaga yang tanpa kasar masuk ke rongga paru-parunya.

Kurdi berkata, “Itu bukan hanya biasa, Kawan. Tapi sering terjadi dalam estafet kehidupan. Terkadang kita sering lupa dengan siapa diri kita yang sebenarnya.”

Angin dermaga berhembus kencang. Beberapa kali rambut mereka bergerak-gerak tak karuan karena disapa angin laut. Suara-suara kapal yang merapat ke dermaga pun ikut bernyanyi. Ditambah suara para kru yang keras. Ditambah suara penumpang yang mulai datang, membuat suasana dermaga dari kejauhan tak pernah sepi.

Kurdi berucap dengan nada kesal, sambil memandangi orang-orang yang memadati dermaga “Seandainya kita pikir kawan kehidupan kita tidak ada yang dapat kita banggakan karena semua pasti memiliki ketergantungan. Tukang sepatu bergantung kepada tukang karet. Tukang karet bergantung pada pabrik. Pabrik bergantung pada karyawan dan konsumen.”

“Sekarang kita bergantung kepada seorang sahabat. Bohong besar jika kita dapat hidup sendiri tanpa orang. Apalagi sampai melupakan orang terdekat kita termasuk sahabat.” Kurdi nyerocos di depan Ahmadiansyah seperti penyiar berita televisi.

“Perkiraanku Majadi belum dapat mengenali kita. Entah karena apa ia lupa.” Diansyah menimpali Kurdi tentang sahabat mereka yang dulu satu kampus bahkan satu daerah.

Tapi, Majadi tiba-tiba hilang bagaikan debu dihembus angin laut.

“Tapi aku masih tetap mengingat dia dengan jelas, Dian. Bentuk hidungnya yang kecil, kulitnya yang sawo matang, rambutnya yang lurus, badannya yang kurus dan tinggi. Bahkan suaranya pun khas cempreng. Seperti kaleng kena tendangan.” Kurdi berusaha menjelaskan secara detail. Diansyah terperangah mendengar itu.

“Hai, Kawan. Kemampuan memori manusia itu sangat terbatas untuk mengingat. Mungkin memori Majadi sedang kusut terkena virus. Sebab itu ia lupa.” Diansyah kembali menimpali Kurdi sambil memandang air laut dermaga menyelinap mesra di lekuk otot-otot mereka.

Malam itu mereka lalui dengan sebuah renungan. Renungan tentang kehidupan, persahabatan mereka yang lama terbangun seperti dermaga Tanjung Si Api-api. Membutuhkan waktu yang tidak sedikit untuk memolesnya menjadi indah. Membutuhkan energi yang besar untuk menguatkannya, membutuhkan cinta yang tulus untuk mengepakkannya ke seantero dermaga.

“Jika tak acuh hari ini mungkin esok ia akan peduli pada kita. Jika ia menutup mata karena melihat kita hadir, mungkin besok ia akan memandang dengan penuh cinta siapa kita. Terkadang ketidakacuhan seseorang ada perhatian yang tersembunyi. Cuma kita terkadang sulit menebak di mana perhatian itu.” Diansyah berujar kepada Kurdi, mereka terus menyusuri dermaga Tanjung Si Api-api.

Kurdi menyahut pelan.
“Seperti informasi yang aku dapatkan bahwa Majadi menguasai perkapalan di wilayah ini. Tapi berita tersebut belum pasti. Karena ciri-ciri yang mereka beritakan terkadang rancu dan ambigu. Aku takut salah orang sehingga membuat kita malu jika kita salah menduga orang.”

Diansyah terkejut mendengar perkataan Kurdi. Kemudian berucap, “Yang benar saja kau, Kawan?” dilanda tidak percaya.

“Tapi sekelas Kurdi tidak mungkin ia berbohong. Tapi berita yang ia terima mungkin harus aku selidiki dulu kebenarannya.” Diansyah coba menerka-nerka di hatinya.

Kurdi memutuskan untuk kembali ke kampung halamannya yang tidak begitu jauh dari dermaga Tanjung Si Api-Api. Pencarian mereka belum menemukan hasil yang menggembirakan tentang seorang sahabat.

Segala usaha sudah dikerahkan, tak urung do’a juga demikian dipanjatkan kepada Allah SWT. Mereka hanya berdo’a dan berusaha dalam setiap kesempatan tapi hasil bukan urusan mereka juga.

Kurdi melangkah pelan berpamitan kepada Diansyah. “Kawan, lain waktu kita lanjutkan pencarian kita. Mencari sesuatu yang berarti itu penting dalam kehidupan. Jika kita tidak mencari berarti kita menyia-nyiakan kesempatan.”

“Seandainya aku punya waktu lebih dari 24 jam, tak lelah aku mencari si tubuh cungkring bersuara nyaring. Lagi-lagi kita harus mengakui bahwa dalam sisi kehidupan ada prioritas. Jadi benar apa yang kau katakan. Kita lanjutkan di lain waktu.” Seteguk kopi Diansyah hirup perlahan dengan mata terpejam.

“Kur, kau kabari aku jika kau ingin kembali ke Tanah Jawa.” Seru Diansyah pada Kurdi.

Kurdi menjawab, “Kukabari dirimu yang pertama, Sobat.” Jawabnya sambil berjalan menuju mobil Honda yang tergores penuh luka seperti Macan tutul kalah bertanding.

Suara mobil melaju. Perjalanan siap dimulai. Suasana dingin mulai bermunculan tanda matahari telah tutup, sejak sore tadi hari sudah mulai gelap. Walaupun dermaga masih menunjukan gelagat tak akan sepi sejenak.

Pak Edi sang supir yang menunggu dari tadi segera menancap gas. Menyusuri hutan karet yang tiada habis-habisnya di pinggiran jalan lintas timur Sumatera. Membuat rasa rindu Kurdi memuncak. Waktu Kurdi kecil, ia sering bermain di hutan karet bersama lima sahabat. Majadi, Diansyah, Rumi, Hakim dan Turji.

Hutan karet itu meninggalkan kenangan yang membuat bekas di hati yang tak terlupakan. Mewarisi segala penantian dalam kenangan. Menangisi kepergian mereka, anak kampung yang kumuh, berlumur keringat, berkeringat masam, berkulit legam bak cokelat Swiss. Menjadi penantang disetiap sudut gelapnya hutan. Berbicara lantang pada setiap kejadian. Bercengkerama dengan malam, mengintip bulan yang membelai dedaunan. Menggertak ular besar dengan taktik, menghalau babi hutan dengan jebakan.
Jiwa itu telah lama pergi jauh. Tak tahu rimbanya dimana. Hanya segelintir orang yang tersisa. Baru disadari jiwa seseorang sangat berharga.

(***)