Lanjutan dari Cerbung Serial Pertama yang berjudul: BERLIAN
Oleh: Pamula Trisna Suri
Sebagai orang kampung aku pun mencobanya, hal-hal seperti ini biasa dikampungku. Bukan, bukan semacam dukun, tapi seperti tukang urut kampung-kampung yang punya ilmu turun temurun. Di sana seorang kakek tua menempelkan kapas di lutut anakku, dengan sekejap keluar cairan dalam kapas tersebut.
“Mbak, ini anaknya sepertinya akan lumpuh. Udah dari bawaan lahir seperti ini. Dia gak akan bisa jalan.”
Bagai disambar petir mendengar pernyataannya, setelah sejauh ini aku mencoba percaya atas apa yang dia lakukan. Aku mulai putus asa, kubawa pulang anakku dengan rasa sedih yang tak terperi.
“Maafkan ibu, Nak.” Sepanjang jalan kuciumi wajahnya.
Setelah ini aku tidak mengajak anakku untuk berobat lagi ke sana. Kucoba datangi pengobatan lain, hampir enam orang yang kudatangi namun hasilnya sama. Tidak ada perkembangan yang berarti. Aku mulai putus asa. Berbagai saran kerabat untuk mencoba terapi di pengobatan alternatif kuabaikan. Hingga suatu hari ibu mendekatiku.
“Nduk, apa salahnya kita coba saran dari Mbak Marsih, katanya dulu pernah ada kejadian seperti ini dan anaknya bisa jalan,” bujuk Ibu.
Setelah kupikir-pikir dari pada berdiam diri apa salahnya aku selalu mencoba dan berusaha agar anakku bisa berjalan. Akhirnya keesokan hari kami ke rumah Mbak Jum. Mbak Jum menyapa kami hangat. Dia membawa sebuah mangkuk yang berisi ramuan tradisional, entah apa saja aku tak tahu. Dia melumuri kaki anakku dengan ramuan tersebut sambil memijit-mijit kakinya. Kulihat anakku sesekali menangis karena kesakitan. Beberapa kali kami ke sana dan ramuan yang diberikan selalu berganti-ganti.
Hingga tanpa kami sadari anakku mulai berani menapakkan kaki dan bisa berjalan saat usianya empat tahun lebih. Betapa bersyukurnya aku, walaupun dia berjalan tidak seperti teman lainnya.
Umur 5 tahun kucoba masukkan Erli, anakku untuk masuk TK. Waktu mendaftarkan aku mulai khawatir, dengan kondisinya yang beda dengan teman lain. Erli tidak berjalan seperti biasa, dia agak pincang dan sedikit bungkuk, aku khawatir dia akan di ledek oleh teman-temannya. Aku khawatir jika itu terjadi dia tidak mau sekolah bahkan tidak mau keluar rumah karena malu.
Akhirnya kuceritakan bahwa Erli adalah anak yang istimewa pada guru-guru di sana dengan harapan mereka punya perhatian lebih terhadap anakku.
Setiap berangkat sekolah aku selalu berpesan padanya untuk tetap semangat belajar. Ku berikan pemahaman bahwa dia adalah anak yang istimewa, dibalik kekurangan pasti ada kelebihannya. Tak henti-henti pesan dan motivasi kuberikan padanya.
Betapa terharunya aku ketika apa yang kukhawatirkan tidak terjadi. Justru pada saat kuantar sekolah teman-teman menunggunya di pintu gerbang dan bersiap untuk membantunya. Mereka menyambut Erli dengan riang dan menuju kelas bersama-sama.
“Ya Allah, terimakasih atas semua ini,” lirihku sambil melangkah ke ruang guru untuk bertanya perkembangan belajarnya.
“Mbak Erli itu luar biasa, Bu. Walaupun dia punya keterbatasan, dia tidak mau dibedakan dengan anak-anak lain. Mbak Erli sangat percaya diri. Saya sangat salut, Ibu berhasil membuatnya menjadi anak hebat,” kata Guru kelas pagi itu.
Tak terasa satu tahun berlalu, waktu perpisahan tiba. Biasanya ada pentas seni drum band yang dilakukan oleh anak-anak. Seperti kegiatan yang lain, aku tidak ingin anakku diperlakukan spesial. Dia harus sama dengan teman-temannya. Pada penampilan drum band pun dia ikut serta walaupun hanya membawa alat yang kecil dan ringan agar tidak terlalu membebaninya.
Pada saat pentas betapa terharunya aku melihatnya betapa cantiknya Erli membawa drum band kecil mengenakan seragam drum band digendong oleh seorang guru. Air mataku menetes. Beruntungnya kami, guru dan teman-temannya menyayangi Erli.
Berbekal pengalaman saat TK aku mulai yakin melepas Erli untuk bersekolah di SD Negeri.
Namun ada sedikit rasa khawatir karena teman-teman di SD lebih banyak dan terkadang saling mencaci terjadi.
Berkali-kali kuingatkan dan kuberikan nasihat padanya agar tidak minder dan percaya diri terhadap apa yang dia miliki.
“Nduk, kamu gak usah minder ya. Ini semua pemberian Allah. Erli memang punya kekurangan, tapi pasti Allah juga memberikan kelebihan. Erli adalah anak istimewa,” kataku pagi itu sebelum mengantarnya ke sekolah pada hari pertama.
Beberapa tahun awal tidak ada yang mengganggu Erli dan bisa mengikuti pelajaran dengan baik. Hingga suatu hari kudengar wali kelasnya bahwa Erli pernah di ledek oleh gerombolan anak laki-laki. Aku khawatir mendengarnya, namun hingga kini tidak pernah Erli cerita jika ada yang mengganggunya di sekolah.
“Terus jawaban Erli gimana, Bu?” tanyaku.
“Dia bilang gini, Eh, seharusnya kamu itu bersyukur. Kamu tuh dikasih Gusti Allah keadaan yang normal. Kamu mau punya kondisi fisik kayak aku gini?” cerita guru muda itu.
Mendengar cerita itu hatiku luluh, anak sekecil itu sudah bijaksana menghadapi masalah. Aku sangat bersyukur apa yang kutanamkan untuk menjadi anak yang kuat berhasil.
“Ibu hebat, bisa menanamkan percaya diri dan meyakinkan Mbak Erli bahwa dia tidak perlu malu dengan kekurangannya,” imbuhnya.
Tak terasa enam tahun berlalu, dia pun selalu ikut kegiatan yang ada di sekolahnya. Semua cibiran ledekan bahkan umpatan yang dia alami di sekolah mampu dia hadapi. Dengan kemampuan dan kepercayaan dirinya membuatku tidak khawatir lagi ketika nanti masuk SMP.
Selama dia di SMP tidak ada kendala, bahkan dia mengikuti beberapa ekstrakurikuler. Nilai-nilai rapotnya pun bagus walaupun tidak masuk ke dalam lima besar. Menjadi anak difabel namun percaya diri dan tetap aktif ikut kegiatan sudah membuatku bangga. Aku tidak menuntutnya untuk menjadi juara kelas atau bintang kelas seperti orang tua lainnya.
Waktu berlalu begitu cepat, Erli tumbuh menjadi seorang remaja yang mandiri dan ayu. Memasuki akhir sekolah kucoba untuk bernegoisasi dengannya karena dalam kondisi saat ini aku tidak bisa lagi antar jemput sekolah. Kuusulkan agar ia tidak melanjutkan ke jenjang SMA ataupun SMK tetapi masuk ke pondok pesantren agar tidak perlu pulang pergi.
“Gini aja, Bu, aku berhenti sekolah dulu,” katanya tegas.
Beberapa bulan kemudian ada tetangga yang bekerja di kelurahan menyarankan agar Erli ikut kursus.
Tawaran itu disambut baik olehnya, terlihat matanya bersinar saat mendengar jurusan yang ditawarkan adalah menjahit. Aku sanksi, bagaimana mungkin dengan kakinya yang seperti itu bisa menjahit? Kuutarakan langsung kendala Erli kepada pegawai kelurahan namun kata-kataku ditepis oleh Erli.
“Bisa kok, Bu. Aku bisa jahit, kaki-kakiku cukup kuat untuk menginjak mesin jahit,” katanya bersemangat.
Aku masih tidak percaya Erli bisa menjahit hingga suatu waktu dia membawa sebuah baju hasil jahitannya untukku. Masyaallah, nikmat Tuhan mana lagi yang engkau dustakan. Sungguh Allah maha pengasih lagi maha penyayang, dibalik kekurangannya Dia memberikan kelebihan untuk anakku. Mujur tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak, seseorang di tempat kursus menyarankanku agar membawa Erli ke Solo, di sana ada tempat khusus untuk anak-anak yang berkebutuhan khusus. Beliau dengan ringan langkah dia mengantarkan kami ke Solo untuk melihat-lihat situasi dan kondisi di sana. Ternyata di sana adalah sebuah tempat bimbingan untuk anak-anak difabel yang terhimpun dari beberapa daerah. Erli bersemangat, dia setuju untuk pindah belajar di sana.
Beberapa jurusan ditawarkan dan Erli memilih jurusan fotografi. Kemampuan sosialnya pun meningkat, dia menjadi lebih percaya diri dan lebih bersyukur melihat banyak teman-temannya ada yang tidak punya tangan, tidak punya kaki, dan mereka tetap semangat untuk belajar. Sekolah itu setiap tahun mengadakan kompetisi sesuai jurusannya, Erli pun ikut mendaftar untuk kompetisi itu. Keterampilan mengambil fotonya memang bagus, beberapa kali dia memberikan hasilnya kepadaku.
“Bu, doakan aku menang, ya?” ucapnya sambil meraih tanganku dan menciumnya.
Minggu pagi aku menerima videocall dari aplikasi whatsapp, terlihat wajah ayu Erli menggunakan kebaya. Entah acara apa, aku lupa bertanya kemarin. Terlihat sekerumunan anak-anak berkebutuhan khusus di sekelilingnya.
“Sekarang pengumumannya, Bu,” katanya. Dia balikkan layar kedepan, tak kulihat lagi wajah ayu anakku yang hebat itu.
Seorang lelaki muda berdiri di depan microfon ditemani gadis cantik yang duduk di kursi roda. Masyaallah, air mataku tak terasa mengalir melewati pipi hingga dagu dan menetes ke lantai.
“Selanjutnya kita umumkan pemenang lomba fotografi.” Suara itu cukup jelas, aku pun ikut gugup menanti pengumuman.
“ Pemenangnya adalah Berlian Cornela Adista.” Suara tepuk tangan menggelegar, kulihat arah kamera sudah tertuju ke wajah gadisku.
“Selamat, Nak, Selamat, Alhamdulillah perjuanganmu dibayar tuntas,”kataku haru menahan tangis. Dia tersenyum bahagia, gigi-gigi putihnya yang rapi dan bersih menambah keayuan wajah khas Jogja.
Benar kata Ibuku, semua anak spesial. Dibalik kekuranganya pasti ada kelebihan, kita sebagai orang tua harus sabar dan mengarahkan minat dan bakat anak sesuai dengan keinginannya.
(Tamat)
===========================
Penulis saat ini berdomisili di Kota Pekanbaru, Provinsi Riau. Dia saat ini aktif di TERATAK LITERASI, “Dari Tanah Melayu Untuk Komunitas Global.”