Close Ads Here
Close Ads Here
Close Ads Here
Close Ads Here

Cerbung: BERLIAN (Bagian 1)

Oleh: Pamula Trisna Suri

Selama enam bulan penantian akhirnya tes pack bergaris biru dua strip. Bagi kami pasangan muda yang hidup di kampung, penantian selama enam bulan terasa lama. Kala itu suami sangat senang, kami periksa ke dokter secara rutin. Tidak banyak kendala selama kehamilan dan dokter berkata bahwa tumbuh kembang janin di dalam perutku bagus.

Hingga suatu hari ketika usia kandunganku tujuh bulan mengalami masalah. Saat aku bersama suami berkendaraan sepeda motor, secara tidak sengaja suami menerjang lubang jalanan. Awalnya kondisi kehamilanku baik-baik saja, namun setelah itu terjadi pendarahan yang hebat sehingga orang tuaku memutuskan untuk membawaku ke Rumah Sakit terdekat.

Aku cemas dengan kondisiku, anak pertama yang kuimpikan berada dalam bahaya, dalam perjalanan kupanjatkan doa-doa sambil menahan perih. Ibu, selalu menguatkanku dan memintaku untuk berpikir bahwa janinku baik-baik saja.

Tiba di rumah sakit, perawat dengan sigap memindahkanku pada tempat tidur dorong dan membawaku ke ruang UGD. Dokter segera memeriksa kondisi janin dan pendarahanku. Setelah beberapa waktu memeriksa dokter mengatakan bahwa janinku baik-baik saja namun karena pendarahan yang masih mengalir deras, dokter memutuskan bahwa aku harus opname.

Hari-hari kulalui di rumah sakit dengan kondisi pendarahan yang tidak ada hentinya. Rasa nyeri sudah berkurang namun entah kenapa darah masih mengalir deras. Satu minggu berlalu pendarahan belum juga berhenti namun sudah berkurang, rasanya aku sudah tidak tahan lagi tinggal di rumah sakit berlama-lama.

Makanan yang disediakan rumah sakit terasa hampar, membuatku malas makan dan badan terasa lemas. Kubujuk ibu agar mau minta ijin dokter agar aku diperbolehkan pulang. Awalnya dokter melarang karena kondisiku masih belum stabil khususnya karena pendarahan yang terus-menerus. Namun, setelah kami sepakat menerima resiko apapun yang akan terjadi denganku dan janinku, aku diijinkan untuk pulang dengan membawa tumpukan obat-obatan yang harus kuminum setiap harinya.

Selama di rumah pendarahan masih berlangsung, entah apa yang terjadi seolah obat-obat itu tidak berfungsi. Sepuluh hari kemudian kurasakan ada rasa nyeri pada bagian perut, semakin kurasakan semakin sakit. Hingga rasa perih yang mengiris-iris disertai dengan sakit pada bagian pinggang akhirnya Ibu membawaku ke bidan terdekat. Menurut ibu, ini adalah tanda-tanda mau melahirkan. Dalam batinku menolak, usia kandunganku masih tujuh bulan lebih, anakku belum tumbuh sempurna dan belum siap lahir di dunia ini.

Dalam doa aku berharap ini hanya kontraksi biasa, sama seperti yang terjadi sebelumnya. Namun hati kecil ini tak bisa kupungkiri, rasa nyeri ini lain. Seolah semua tulang rusuk dihantam benda tajam, perut perih seakan teriris-iris.

Bidan mengatakan bahwa aku bisa melahirkan dengan normal dengan kondisi bayi sungsang. Bidanpun membimbingku untuk mengejan, beberapa saat kemudian bayi mungil itu lahir dengan pantat yang lebih dahulu keluar dengan berat badan sebelas ons.

Aku bersyukur bayiku selamat, namun ada yang aneh. Kenapa bayiku tidak menangis. Aku cemas namun tak berdaya lagi. Samar kulihat bidan mencoba untuk membuat bayiku menangis namun gagal. Akhirnya bidan mengambil keputusan untuk membawa bayiku ke Rumah Sakit.

Pihak Rumah Sakit menyatakan bahwa anakku harus masuk inkubator, karena kondisi fisik dan berat badan sangat kurang. Kurang lebih selama 32 hari anakku di rawat, akhirnya aku dan keluarga bisa membawanya pulang. Betapa bahagia saat itu, seperti sebuah keajaiban bayi dengan berat badan 11 ons itu bisa selamat.

Sampai dirumah ibu membantuku merawatnya, ingin sekali aku memandikannya sendiri namun aku belum berani. Posisi anakku tidak seperti bayi lainnya, siku dan lututnya berdekatan seperti posisi bayi saat masih dalam perut. Tak terasa air mataku mengalir melihat ibu memanjatkan doa-doa saat mengusap setiap bagian tubuhnya.

Kami merawatnya dengan sepenuh cinta, perkembangan dan pertumbuhannya pun semakin bagus. Berat badan mulai naik, parasnya bertambah cantik. Kulitnya putih bersih, dia selalu tersenyum saat kita memanggilnya.

Memasuki usia satu tahun aku merasa ada yang salah dengan anakku. Saat ini dia belum bisa menapakkan kaki seperti teman lainnya, dia hanya bisa merangkak. Saat kami coba membuatnya berdiri seolah-olah kaki kanan dan kirinya tidak sama panjang. Hatiku tak karuan, dada ini berat seperti tertindih mengetahui hal itu. Kucoba melihat dengan detail, ternyata lutut kanannya tidak mau diluruskan. Tulang dalam tubuh serasa mau lepas, aku lunglai. Cobaan apa lagi ini. Segera kukeluhkan semua ini pada ibu.

Akhirnya kami sepakat untuk membawanya ke rumah sakit. Dokter mengatakan bahwa anakku harus fisioterapi. Aku pasrah, jika memang itu yang terbaik, baiklah. Kami rutin melakukan fisioterapi namun hingga beberapa bulan tidak ada perkembangan yang terlihat. Tetangga dan kerabat mulai memberikan pendapat untuk mencoba terapi di tempat lain, bukan secara medis.

(Bersambung…)

===========================

Penulis saat ini berdomisili di Kota Pekanbaru, Provinsi Riau dan aktif di SANGGAR TERATAK dengan motto “Dari Tanah Melayu Untuk Komunitas Global.”

Penulis: Pamula Trisna SuriEditor: M Syari Faidar