Close Ads Here
Close Ads Here
Close Ads Here
Close Ads Here

Cerbung: Akankah Kita Bertemu? (Bagian 5)

Oleh: Alfi Bi-ka

Bab 5

Akankah Kita Bertemu?

Jalan-jalan ku lalui. Lintasan samudera kuarungi. Terik siang panas mentari aku jamahi. Gelap malam gulita menghantui. Mata-mata indah berkaca nan syahdu. Sinar purnama menjadi penantian panjang tak terhenti. Jiwamu melayang jauh dihembus angin dermaga. Bayangmu hilang di ufuk timur. Kawan, tak ada jiwa sepi melainkan ramai dengan persahabatan. Terukir namamu di pelupuk mataku. Berita tentangmu menghilang ditelan rawa Tanjung Si Api-api. Akankah kita bertemu?

Sebuah syair meluncur di otak bagian kanan milik Kurdi. Ketika ia membayangkan tentang sahabat-sahabatnya yang menghilang dibawa angin masa lalu. Beberapa perpisahan telah mereka arungi. Banyak hal sudah mereka ukir dalam sebuah persahabatan.

Ada gelagat cinta yang menggelora. Ada ambisi yang tak pernah terhenti. Ada nestapa yang menghantui. Ada gembira yang membuat tawa bergemuruh. Ada kisah hidup yang tak pernah mati.

Diansyah menawarkan secangkir kopi hitam pekat ala Sumatera Selatan. “Ini kupesan khusus untukmu, Kawan. Aku tidak ingin matamu yang berputar ligat seperti gasing redup oleh ngantuk yang datang tak diundang,” ujar Diansyah tersenyum menyindir karena melihat mataku yang lesu.

“Hai, Kawan. Kau tak tahu ketika perjalanan dari kampungku menuju rumahmu? Aku dihantam oleh debu-debu tebal yang menyesakkan dada dan membuat kusut mataku. Beberapa kali aku mengusap mata di dalam mobil karena debu tajam itu coba mengusik konsentrasiku.” Kurdi memberi alasan kepada sahabatnya itu.

“Wajar daerah kita banyak debu karena daerah kita sedang musim kemarau panjang. Tanah merah yang berada di tepian jalan mendadak gersang seperti padang pasir. Setelah itu angin dan mesin datang menerbangkan debu-debu itu. Apalagi daerah kita sedang gencar-gencarnya dibangun. Jadi wajar saja kalau di setiap jalan ada debu.” Diansyah menyahut ala pengamat menganalisa.

Kurdi hanya tersenyum lebar mendengarnya. “Kuberi kau tepuk tangan atas apa yang telah kau jelaskan. Aku percaya sejak dahulu, waktu kita kecil kau selalu bisa menganalisa sesuatu dengan baik. Tak salah jika kau menjadi Kepala Kepolisian Daerah,” sahutnya lagi.

“Kau tak usah memujiku, Kawan. Untuk apa? Aku tak tertarik dengan pujianmu,” jawab Diansyah dengan ketus.
Ia sengaja menjawab seperti itu untuk membuat Kurdi sedikit kesal.

“Kau tidak usah berlagak sufi di depanku, Kawan. Kita ini manusia biasa. Sedikit memuji tak apalah. Karena pujian itu artinya menghargai orang.” Kurdi membalas dengan sahutan nada yang sedikit tinggi.

“Pujianmu terlambat datang, Kawan. Aku sudah lama menunggumu, kau masih betah saja meringkuk di rantau orang. Tak ingin menjenguk kampung halamanmu yang telah hilang. Dan yang lebih parahnya lagi kau sempat-sempatnya lupa terhadap kami.”

Diansyah terus memuncakkan emosi Kurdi agar dapat mengingat lebih banyak lagi tentang keadaan mereka waktu dulu.

“Kurang ajar benar, Dian. Kau ini. Tadi kau berlagak sufi, sekarang kau berlagak sok Hakim Agung. Keterlaluan kau ini.” Kurdi membalasnya.

Percakapan hampir di luar kendali.

“Andai kau tidak mengenakan seragam Kepolisian, sudah kucekik lehermu yang besar itu. Kuteriakan di telinga lebarmu bahwa kau ini bedebah menjengkelkan. Tak tahu diri dan sok bijak.” Jawaban Kurdi meninggi.

“Aku masih menghormati lembaga negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai Pancasila yang ada di seragam kepolisianmu,” sambungnya lagi.

“Stop! Jangan kau sangkutkan lembaga ini. Karena ini adalah murni bahasa pribadiku terhadap dirimu.” Diansyah tak mau kalah. Perdebatan terus muncul.

“Oke. Aku stop. Aku lelah debat kusir dengan dirimu. Berikan kopi itu,” pinta Kurdi kemudian meminum kopi tersebut beberapa teguk.

Diansyah seperti menahan senyuman menang. Karena ia berhasil membuat Kurdi kesal.

“Kawan, kau marah padaku? tanya Diansyah.

“Aku tidak marah, Kawan. Aku cuma kesal dengan sikapmu itu.” Kurdi menjawab dengan pelan seperti anak kecil yang ingin mengatakan sesuatu keinginan.

“Kau selalu begitu, Kur. Dapat memaafkan kesalahan temanmu. Dan kau bersikap profesional. Aku yakin pasti teman-temanmu di luar sana banyak sekali. Sehingga kau melupakan aku dan teman-teman kita.” Diansyah kembali menggodanya sambil tersenyum.

“Sudahlah. Terserah kau saja, Dian,” Kurdi menimpali ocehan temannya dengan malas.

“Justru aku rindu dengan emosi itu, Kur. Kau dapat mengendalikannya,“ sahutnya dengan santai seperti tidak pernah ada perdebatan sama sekali.

Perdebatan dan percakapan itu membawa mereka pada suasana petang yang beranjak gelap. Suara jangkrik yang dulu terdengar nyaring berganti dengan suara mesin mobil yang bergemuruh lalu lalang.
Burung hantu yang menjadi hiasan malam berganti dengan suara musik rock yang menghentak. Terkadang musik itu dapat menghibur tapi tak jarang membuat onar.

Musik tradisional yang khas disertai cerita-cerita orang dahulu minggir entah kemana. Mungkin tenggelam dengan cerita-cerita tak bermutu yang tak syarat dengan pesan moral.

Hanya ada satu suara yang nyaring terdengar yaitu adzan walaupun berganti musim. Berganti suasana dan berganti bangunan. Bahkan berganti orang. Namun suara adzan akan selalu ada. Entah dalam keramaian, entah dalam kesendirian, entah dalam kekosongan. Adzan selalu terdengar.

Suara adzan itulah yang menghentikan dua pemuda yang sedang bercakap-cakap tadi. Hati kecil mereka masih mengenal Tuhan. Saatnya mereka berhenti sejenak untuk mengabdi. Mengabdi untuk bertemu dengan pencipta yang dirindukan. Mengabdi karena sering lupa pada-Nya. Mengabdi karena lelah menghadapi hidup yang bertubi-tubi dengan kegagalan. Saatnya mereka berdua mengadu. Saatnya mereka berdua bersimpuh. Tuhan masih menyayangi mereka dengan ampunan.

“Kur, suara adzan. Merdu sekali lantunannya. Mari kita shalat magrib!” ajak Diansyah padanya.

(***)