Close Ads Here
Close Ads Here
Close Ads Here
Close Ads Here

Barudin Hito

Barudin Hito

Oleh : Ardi Masti

Yang jelas ia tidak tahu mengapa ia bisa sampai di sini. Tiba-tiba saja ia melihat dimana pohon-pohon yang lebih terlihat seperti pohon buatan, tanpa daun tetapi berbunga lebat. Pohon-pohon yang ditempeli bunga beraneka warna lalu disambar sinar matahari yang juga merekah ke segala penjuru pada pagi itu.

Ini lah musim semi yang didamba-dambakannya hingga ia lupa mengapa ia bisa sampai di sini. Yang terfikir olehnya waktu itu hanyalah bagaimana dapat menikmati pagi musim semi di Jepang yang diimpikan banyak orang. Sebelumnya ia hanya mendengar cerita ataupun tulisan-tulisan yang dibacanya sebagai peliput berita, juga melalui gambar-gambar di media massa dan elektronik betapa indahnya Jepang di musim semi dengan bunga sakuranya.

Aktifitas mulai sibuk seiring kian meningginya matahari. Orang-orang memenuhi kewajibannya dengan penuh kedisiplinan. Seolah mereka mengabaikan program pemerintah setempat yang memberi tunjangan khusus bagi yang memiliki anak lebih dari tiga orang. Kebijakan itu dikeluarkan seiring kian turunnya jumlah usia produktif di Jepang. Bahkan penduduk Jepang saat itu banyak didominasi oleh lansia. Sementara Jepang tetap ingin mempertahankan jumlah penduduknya dikisaran 100 jutaan jiwa.

Angka kematian lebih tinggi dari pada angka kelahiran. Anggaran biaya perawatan kesehatan setiap tahun meningkat dan tidak diimbangi dengan penerimaan pajak penghasilan usia produktif. Mereka tetap tidak peduli dengan program itu, dan bahkan banyak diantara mereka yang tetap memilih sendiri tanpa menikah hingga usia lanjut. Dengan alasan yang cukup sederhana. Sendiri lebih bebas. Termasuk dalam hal membelanjakan uang yang dimiliki. Dan jika menikah tentu hal itu tidak akan didapatkan lagi. Dan bahkan jika punya anak tentu biaya yang dikeluarkan bisa lebih tinggi lagi mengingat tingginya biaya hidup dan pendidikan bagi anak. Mereka telah memperhitungkan biaya riil yang akan dikeluarkan dibandingkan tunjangan khusus tersebut. Tentu tidak semua penduduk Jepang yang memilih untuk tidak menikah. Ada juga yang menikmati pernikahannya hingga mempunyai keturunan.

Hito terus berjalan di tengah kian sibuknya aktifitas kota Tokyo. Hatinya berbunga-bunga seperti pohon sakura yang dilihatnya. Di saat hati yang kian berbunga itu ia kembali teringat dengan sang pujaan hati yang belum memberikan tanggapan atas cinta yang telah diucapkannya beberapa minggu yang lalu.

Ia berkhayal jika saja ia bisa berjalan menyusuri jalanan kota Tokyo bersama Rukya, betapa ia merasakan kebahagian yang luar biasa tentunya. Dapat menikmati pemandangan bunga sakura yang menyapa setiap warga yang melintas. Hito terus berjalan menapaki pedestarian dan lingkungan yang begitu asri sambil meneruskan khayalannya tentang Rukya. Sesekali ia mengalihkan khayalannya untuk memberikan rasa takjub, betapa majunya Jepang dengan tetap mempertahankan keindahan kota dan menjaga udara kotanya dari polusi.

Tiba-tiba seorang wanita melintas tak jauh di depannya, dan ia langsung memanggil wanita tersebut.

“Rukya…!!” teriaknya.

“Hai, Hito” jawab si wanita.

“Mau kemana? Timpal Hito seolah tak mau kehilangan kesempatan agar Rukya tetap berkomunikasi dengannya.

“Saya mau membeli roti.”

“Oh, kebetulan” kata Hito yang mencoba ingin memaksimalkan kesempatanya untuk berlama-lama dengan Rukya.

“Saya juga mau membeli roti”

“Kalau begitu kita bareng saja” jawab Rukya. Dan meneruskan kalimatnya, “Kebetulan saya punya toko roti langganan beberapa blok dari sini, saya juga malas jalan sendiri, kan lebih enak jika berjalan bersama di saat musim semi seperti ini sambil menikmati bunga sakura yang mengembang menyambut musim.”

Hati Hito yang sebelumnya mengalami ketandusan seperti wilayah yang sedang mengalami musim gugur langsung menemui musim seminya tanpa mengalami musim dingin terlebih dulu. Musim dimana bunga-bunga memberi tanda dan isyarat kepada burung dan kumbang bahwa musim telah berganti. Mukanya memerah. Jika saja Rukya memperhatikannya dengan seksama, pasti akan tampak perubahan dari wajah Hito pada waktu itu.

Setelah menunggu sesaat, dua orang tersebut kembali berjalan menyeberangi jalan di perempatan jalanan kota Tokyo. Rukya memegang tangan Hito sambil terus berlari-lari kecil mengikuti cara berjalannya orang Jepang yang begitu cepat menuju toko kue langganannya yang tinggal beberapa puluh meter lagi.

Hito yang sebenarnya tidak begitu suka makan roti, tiba-tiba kaget dan bingung ketika ditanya Rukya mau beli roti apa saja.

“Nanti lihat dulu di sana” ucapnya kepada Rukya.

Ketika Rukya memberi tahu bahwa di depan itu adalah toko roti langganannya, Hito tersenyum, sambil melihat ke samping kanan dan kiri untuk memberi tanda alamat toko roti tersebut. Tentu untuk menjaga kesempatan berikutnya. Di saat itulah ia menabrak seorang pria yang bersepeda dan membuat keduanya terjatuh. Rukya tiba-tiba menghilang ketika rasa nyeri di pinggulnya datang. Seorang paruh baya yang memakai sepeda tadi pun juga tiba-tiba menghilang setelah sempat mengerang kesakitan. Musim semi seolah berubah kembali mundur ke musim dingin. Hito merasakan kembali musim dingin di saat hujan salju mengguyur tubuhnya dalam jumlah yang sangat besar dan cepat.

“Hai…!!! Susah banget sih ngebangunin lho” teriak Budi.

Hito baru sadar ketika melihat jam dinding kamarnya pukul 06.45 WIB. Ia bergegas ke kamar mandi dan berwudhu untuk segera menunaikan sholat subuh yang sudah dipatok ayam, lalu mandi dan segera berangkat ke kantor sebagai wartawan tempat ia bekerja.

“Maaf kawan. Udah dari tadi gua bangunin lho senyam-senyum aje, mimpi ape sich lho!?”

“Lho juga kan yang bilang pokoknya bangunin sebelum pukul tujuh!” Budi terus berkomentar tanpa ada tanggapan sedikitpun dari Hito.

“Ya udah. Gua cuma menjalankan amanah lho” lanjut Budi sambil menonton berita pagi tentang pencak silat pendekar-pendekar politik di negeri ini yang sedang memainkan jurusnya masing-masing.

Hito tetap tidak berkomentar terhadap perkataan sahabat karibnya tersebut. Mungkin ia patut berterimakasih, atau mungkin ia masih kaget dan merasa ingin marah dengan diperlakukan seperti itu. Lebih tepatnya marah karena kemesraannya dengan Rukya yang sedang dinikmatinya menjadi terganggu meski hanya di dalam mimpi. Hito paham Budi membentaknya pagi itu, juga karena amanatnya semalam sebelum tidur.

Hito mengucapkan terimaksih sambil memberi salam kepada Budi yang juga mulai bersiap untuk berangkat kerja setelah menyelesaikan sarapannya di depan tivi ruang tamu kontrakan tempat mereka tinggal di Jakarta.

“Terimakasih sobat, pagi ini aku ada rapat penting dengan bos”

“Rapat apa tu?” jawab Budi.

“Gak tau juga. Katanya penting. Yang jelas aku disuruh datang pagi-pagi ke kantor sebelum pukul delapan,” ucapnya kepada Budi yang mulai mematikan tivi setelah segelas susu mulai kosong dan isinya berpindah ke perut Budi.

***

Setelah berjuang menerobos kemacetan Jakarta. Hito tiba di kantor lebih cepat dari kebiasaannya selama ini. Ia mendapati ruang rapat redaksi baru dihadiri dua orang saja. Sambil memasuki ruangan Hito melihat jam tangannya untuk memastikan apakah ia telat atau kecepatan.

“Tidak, waktunya pas,” lirih Hito di dalam hati sambil memberi senyum kepada sepasang pria dan wanita yang salah satu diantaranya adalah bos Hito bernama Sutar.

“Silahkan duduk Hito, kita mulai rapat terbatas ini” kata Sutar membuka rapat pagi itu secara formal meski peserta rapat hanya tiga orang saja termasuk dirinya.

“Baik pak” jawab Hito dan peserta lainnya hampir serentak.

“Saya harus ke Singapura sore ini untuk menghadiri peresmian salah satu kantor media mitra kita selama dua hari.”

“Dan dua hari yang lalu saya juga mendapat undangan penting dari Tokyo ada pertemuan kantor berita se-Asia dan sekaligus ada pelatihan jurnalistik untuk wartawan senior.”

“Seharusnya saya yang berangkat, tapi sehabis dari Singapura nanti saya harus ke Johor Bahru – Malaysia.”

“Jadi saya rasa sebaiknya kalian berdua saja yang berangkat ke Jepang untuk rentetan acara tersebut.” Kalimat demi kalimat keluar dari mulut Sutar secara tegas dan jelas, sesekali diikuti anggukan kepala dari dua peserta rapat. Hingga Sutar menyelesaikan pembukaan rapat yang super singkat itu.

“Jepang….???” ucap Hito yang hampir tidak percaya dengan ucapan bosnya itu sambil melempar pandang kepada wanita di depannya. Yang membuat jantung Hito kian berdegup kencang ketika melihat wajah cantiknya.

“Ya..!” jawab Sutar singkat.

Wanita tersebut juga memperlihatkan rona bahagia mendengar perintah dinas dari sang bos, meski ekspresinya agak datar jika dibandingkan Hito.

Seorang bagian administrasi memasuki ruangan rapat setelah ditelpon Sutar. Ia membawa surat perintah perjalanan dinas yang sudah ditandatangani. Dan memberikannya kepada Hito. Hito membuka surat tersebut dan melihat perintah dinas ke Jepang selama lebih kurang enam hari tujuh malam yang diperintahkan kepada Barudin Hito dan Tafira Rukya.

Hito dan Rukya kembali saling pandang dan saling melempar senyum. Senyum tanda bahagia. Senyum yang juga mengandung sebuah jawaban yang sedang ditunggu-tunggu Hito sejak ia menyatakan perasaannya kepada rekan kerjanya tersebut beberapa minggu yang lalu. Mungkin tidak akan disampaikan saat ini. Bisa jadi pas di dalam pesawat ataupun ketika sudah berada di Jepang. Atau Rukya pura-pura lupa bahwa teman kerjanya tersebut pernah menyatakan cinta kepadanya untuk kembali menguji keseriusan Hito yang selama ini lebih banyak tidak seriusnya.

Lubuk Bendahara
Akhir Februari 2015, ketika pertikaian KPK dan POLRI mulai mereda.

***

Biodata Penulis:

Mastiardi, S.T

Dilahirkan di Lubuk Bendahara, 27 Juni 1983. Pernah menempuh pendidikan S1 Arsitektur UII Yogyakarta (Tamat 2006)

Ada beberapa karya-karyanya yang belum pernah dipublikasi, diantaranya:

Cerpen

  1. Selamatan Salamek
  2. Penyakit Lamin
  3. Hari Eksekusi
  4. Pendaratan di Paris
  5. Barudin Hito

Puisi

  1. Robohnya Tebing Sungai Kami
  2. Kursi Langit
  3. Mendayung Masa

Saat ini Mastiardi, S.T yang mantan Bankir ini berprofesi sebagai penjual pulsa, yang bergerak di UMKM dengan bendera bisnis Sakti Network (SN). Ia juga tercatat sebagai anggota Pegiat Literasi Rokan Hulu (PLR) dan Pengurus Forum Taman Bacaan Masyarakat (FTBM) Kabupaten Rokan Hulu

Penulis: MastiardiEditor: M Syari Faidar