Close Ads Here
Close Ads Here
Close Ads Here
Close Ads Here

Alat dan Teknik Membaca Puisi, Syair dan Sajak

(CIO) — Secara umum sering menjadi bahan pembicaraan dan bahan diskusi –dialog, debat– tentang batasan pembacaan karya sastra, baik cerpen atau puisi dan lain-lain. Dengan argumentasi, saling mempertahankan kebenaran yang diyakini dalam batas yang diketahui dan dipahami.

Sehingga tidak jarang banyak pengertian keliru yang berkembang di antara mereka bahkan begitu banyaknya kekeliruan, dapat diartikan keadaan ini cukup serius serta seakan-akan terus berlanjut apabila tidak segera diberi batasan. Paling tidak sebagai bahan jembatan, dalam rangka memperoleh yang sepaham atau searti atau setujuan dan persamaan persepsi. Tulisan ini sekedar pengantar saja untuk mempelajari buku atau pedoman atau pendapat ahli yang lebih konkrit.

Pembacaan puisi atau cerpen dan lain-lain adalah masuk dalam lingkup pementasan sastra. Segi bahasa atau sastra, atau kalimat atau kata, atau huruf harus dijadikan tekanan atau acuan utama dalam suatu pementasan sastra, terlebih pada acara yang diperlombakan.

Artinya tekanan pementasan harus pada ‘suara’, sementara segi-segi lainnya diperlukan sebagai pendukung. Ini dapat dibandingkan kalau orang mementaskan lakon-lakon puisi seperti karya-karya pengarang dari Yunani kuno –Plato, Shakespeare, dan lain-lain.

Bukan saja teman-temannya memiliki sifat dasar tertentu, tetapi bentuk dialognya yang berupa puisi menuntut perlakuan khusus pada suara.

Jadi, seyogyanya pementasan karya sastra berbentuk pementasan suara dengan dukungan alat serta teknik teater atau musik atau musikalisasi. Dampaknya bagi penonton adalah kenikmatan mendengar sambil berilusi melalui saran-saran yang diperlihatkan oleh sejumlah peragaan alat-alat serta teknik teater atau musik.

Singkatnya: pementasan karya sastra yang baik harus didasari pemahaman karya sastra yang baik pula, dengan menggunakan teknik ‘vokal’ yang prima dengan dukungan teknik teater atau musik.
Paling sedikit kesadaran terhadap makna kata –denotatif atau konotatif, konotatif banyak digunakan oleh penyair-penyair, haruslah dimiliki seorang calon pembaca. Hal ini juga sangat mudah untuk dimengerti, bahwa sebelum menangkap makna yang tersirat, lebih dulu harus menangkap makna yang tersurat. Dengan demikian hal-hal pokok yang harus diperhatikan adalah sebagai berikut :

1. Tenaga imajinasi dan asosiasi pada kata-kata harus sedemikian kuat dan kaya.
2. Untuk menangkapnya, bagi pembaca diperlukan kekayaan dan kekuatan yang kurang lebih sama dengan imajinasi dan asosiasi.
3. Untuk mengerti kekayaan dan kekuatan tersebut, pembaca perlu membina kepekaan segenap inderanya, juga intens dalam menghayati hidup, jiwa dan raga. Singkatnya ia harus betul-betul hidup dan amat akrab dengan alam –dalam arti yang luas.
4. Kecuali itu perlu pula mengembangkan daya intelektualnya.
5. Pengetahuan sastra, bahasa dan hal-hal yang menyangkut keduanya merupakan alat vital bagi pembaca.

Apa artinya menangkap isi-maksud sajak atau puisi atau syair? artinya, suatu usaha menangkap isi suatu sajak selengkapnya, tersurat atau tersirat. Sengaja digunakan, dan atau supaya jelas bahwa tidak selamanya atau seluruhnya pembaca atau enyair menggunakan kata dalam arti yang konotatif.

Contoh :
Di atas ranjang yang reyot
Berhala zinah bertahta indah
Birahinya damai dan kadang menggelora
Di kiri dan kanan terlentang telanjang
(KUSAMBUT TUBUHNYA/Harry Eff. 1996)

Dalam baris-baris tersebut adalah meleset kalau mencari apa yang tersurat, lambang-lambang misalnya pada kata-kata yang tersusun di atas. Baris pertamanya berarti seperti apa tersurat, demikian juga baris-baris yang lainnya. Juga perhatikan baris-baris di bawah ini :

Contoh :
Ia menggelepar
Di atas gurun yang dicintainya
Sudah ia lepaskan dengan tenang
Anak panah terakhir dari sarungnya
Ke dada zionis yang menduduki kotanya
(SYAIR PALESTINA/Harry Eff. 1996)

Ketika menguraikan tentang isi-maksud sajak di atas sesungguhnya telah di singgung salah satu dari alat kita yang melakukan aktivitas-aktivitas dalam atau rohani –Inner activity. Alat itu kita sebut saja alat rohani. Selanjutnya bertolak dari tangkapan atau tanggapan –tafsiran atau inteprestasi– kita sampai pada tahap pengucapan –ekspresi–, yaitu dengan alat yang kita sebut saja sebagai alat luar, dalam hal ini adalah suara kita.

Jadi kalau seorang penyair lihai dalam memungut, menempatkan dan menyusun kata-kata dalam sebuah sajak, maka seorang pembacanya lihai dalam memahami atau menangkap kata-kata yang telah dipungut, ditempatkan dan disusun penyair dalam sebuah sajak.

#Bagian_1

(***)

Penulis:  Jaka Tingkir, Pemerhati Sastra & Teater.