Close Ads Here
Close Ads Here
Close Ads Here
Close Ads Here

AKU, ALAM dan KARYA

(CIO) — Dengan telanjang kita tangkap alam yang telanjang. Tanpa prasangka kita dekati-gauli alam yang terbuka; alam yang pro-konsepsi, yang murni dan utuh. Dengan sikap ini alam sudi terbuka.

Dengan sikap merdeka dari segala macam konsepsi kita akan diangkat ke sikap berani dan jujur. Bahkan kadang kita harus bersikap radikal dalam memasuki segala macam persoalan dan misteri kehidupan, sehingga alam yang murni studi terbuka.

Siapakah aku? Diantara banyak aku kita dilemparkan.

Siapakah aku? Dari sini kita memulai hidup kita. Siapakah aku?

Pertanyaan ini harus mendapatkan jawabannya dari keseluruhan karya kita. Dengan sikap radikal niscaya akan senantiasa muncul dalam setiap jawaban.

Pada hakekatnya setiap karya merupakan jawaban pertanyaan yang radikal ini. Atau lebih jelasnya dapat dikatakan bahwa setiap karya kita merupakan percobaan jawaban terhadap setiap pertanyaan yang radikal.

Setiap kali kita selalu ingin memberikan jawaban.

Seringkali kita ucapkan jawaban kita.

Senantiasa kita merasa bahwa satu jawaban saja tidak pernah mewakili aku.

Dan pada akhirnya nanti, karya-karya kita akan merupakan rangkaian potret-potret diri kita dalam berbagai ekspresi.

Demikianlah kita seharusnya.

Keunikan pada setiap karya merupakan sesuatu yang dikejar setiap seniman. Karya-karya dikejar setiap seniman. Karya-karya dikejar sebagai rangkaian yang unikum.

Dan hal ini dapat dicapai oleh setiap aku?

Karena karya-karya yang berunsur aku senantiasa mengandung orasinalitas.

Bukankah setiap aku merupakan unikum?

Karena hal itulah maka kita tolak segala yang bernama epigonosme.

Aku Me dan bukan Aku Di.

Karena hal-hal itulah maka kita tolak segala yang bernama/berbau klise.

Klise dari beberapa aktor, kita tolak.

Klise dari kita sendiri, kita tolak.

Kita harus senantiasa baru, lantaran kita hidup dan sungguh-sungguh hidup, dinamis dan ritmis seperti halnya alam, kita harus senantiasa baru. Kita harus senantiasa kembali lahir setiap waktu, lantaran bahasa adalah waktu.

Karena itu aku menolak manerisme, lantaran aku tak mau membeku.

Baru dalam hal ide, kita kejar.

Baru dalam bentuk, juga kita kejar.

Kita dalam situasi mengejar, sampai mati.

Kita harus merasa bocah, dan alam tempat permainan.

Hubungan aku dengan alam sedemikian rupa sehingga seperti hubungan lelaki dengan perempuan.

Hidupi :

Alam Anorganis, yang fisis-chemis, yang kimiawi.

Alat Vegetatif.

Alat Animal.

Alam Human.

Alam Supranatural.

Dll.

(***)

Catatan Kecil:

Hary Effendi

Artwork Sastra dan Teater

di Gelanggang UNSTRAT 1994