CIO — Kiai Haji Agus Salim seorang diplomat yang dikenal menguasai 14 bahasa, paham Al Qur’an dan penghafal hadits, dihina dalam Sidang Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK-PBB).
Peristiwa penghinaan terhadap Kiai Haji Agus Salim dalam Sidang Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di New York, Amerika Serikat, itu terjadi pada tahun 1947.
Suatu ketika dirinya diundang di suatu parlemen dunia untuk berpidato. Namun, alangkah terkejutnya saat hendak berpidato Kiai Haji Agus Salim mendapat hinaan hanya karena memiliki jenggot panjang.
Begitu naik ke podium dirinya diolok-olok dengan kalimat yang tidak biasa dengan menirukan suara kambing.
“Mbek … mbek … mbek …” suara para diplomat dunia itu.
Namun, Menteri Luar Negeri Republik Indonesia kala itu tidak marah. Ia mengabaikan suara-suara tiruan kambing itu dan segera naik ke podium kemudian mulai berbicara.
Sebelum mulai pidato, Kiai Haji Agus Salim, memulai dengan kalimat pembuka yang membuat seluruh parlemen dunia berwajah merah, terdiam dan malu, cerita ustadz Adi Hidayat dalam ceramahnya yang diunggah di laman Youtube.
“Tuan-tuan dan nyonya sekalian, seperti anda ketahui bahwa saya dianugerahi oleh Allah Subhanahu Wa’tala, Tuhan kita semua, kemampuan bahasa yang cukup beragam, jangankan bahasa manusia, bahasa kambing pun saya nanti akan menafsirkannya,” sebut Kiai Haji Agus Salim membalas hinaan para anggota parlemen yang telah menghinanya.
Kalimat itu sontak membuat wajah para parlemen dunia yang telah menghinanya berubah merah.
Mereka dibuat kaku oleh ucapan Kiai Haji Agus Salim karena berani menghina simbol Islam dengan cara yang elegan.
Bahkan, ketika Kiai Haji Agus Salim menambahkan kalimat pembukanya sebelum berpidato, wajah para parlemen yang menghinanya itu semakin kesal dan marah.
“Saya mohon maaf pada kalangan kambing yang hadir di sidang istimewa ini. Saya akan bicara dulu dengan bahasa manusia, setelah itu, saya akan jelaskan dalam bahasa kambing,” seloroh Kiai Haji Agus Salim.
Bekerja di Dunia Jurnalistik
Pada tahun 1906 Agus Salim bekerja di Jeddah, Arab Saudi, sebagai penerjemah di Konsulat Belanda.
Selama di Arab Saudi, Agus Salim, sempat belajar dan berguru kepada Syech Ahmad Khotib al-Minang Kabawi. Ia juga belajar ilmu diplomasi sehingga ilmu agama dan politik Agus Salim terasah.
Pada tahun 1915, tiga tahun setelah kembali ke tanah air, Agus Salim bekerja di dunia jurnalistik sebagai redaktur di Surat Kabar Harian Umum Neratja.
Keaktifannya di dunia jurnalistik, Agus Salim, ditawari menjadi Pemimpin Redaksi Harian Hindia Baru di Jakarta.
Namun, karena tulisan kritisnya, Agus Salim harus mengambil sikap tegas untuk mundur dari redaksi Hindia Baru.
Keputusan itu diambil setelah dirinya dimusuhi oleh pemilik modal yang tak lain adalah orang-orang Belanda karena marak eksploitasi dilakukan oleh Belanda.
Kiai Haji Agus Salim kemudian mendirikan Harian Fajar Asia yang merupakan surat kabar Serikat Islam.
Kiai Haji Agus Salim juga pernah menjadi redaktur di Surat Kabar Harian Umum Mustika di Yogyakarta dan mendirikan kantor pusat informasi penerangan.(***)