(CIO) – Apa yang mau kita harapkan dengan kehidupan yang sebentar? Kita adalah nakhoda dari setiap kapal-kapal yang berlayar mengelilingi bumi, menjelajah lautan dan melawan berbagai cuaca ekstrim. Perjuangan dari ujung ke ujung dan berhenti di titik yang sama. Mencoba mengejar sunset, tapi itu hanya fatamorgana. Keindahan-keindahan itu hanyalah sementara, karena kita akan terlelap kembali kepada malam yang sama. Manusia tak pernah mengerti caranya berbenah diri, hanya seenak hati, pergi kemudian tak kembali. Manusia suka melukai orang lain dan melukai diri sendiri. Siapa peduli? Manusia sudah banyak hilang budi. Sebaiknya kamu tidur.
“Annie! Ayo bermain!” Ajak temanku, Rebecca.
“Ayo!” Aku mengiyakan. “Mau bermain apa hari ini?” Lanjutku.
“Eh, tak jadi lah, aku takut.” Rebecca pun pergi, meninggalkanku. Aku bersedih.
“Annie! Sudah kubilang, kamu tidak boleh bermain dengannya,” ucap suara itu.
“Wahai tuan, terus aku harus bermain dengan siapa?”
“Bermainlah denganku, ke tempat sepi dan dingin. Kau akan tenang denganku,” jawabnya.
Dari arah kanan, terdengar suara lain.
“Annie! Apa yang kamu lakukan? Kamu berbicara dengan siapa?”
“Ah mamah, aku sedang berbicara dengan teman-temanku,” jawabku sembari melempar senyum kearahnya.
“Teman-teman yang mana? Annie, temanmu hanya satu yaitu mamah, kan?”
“Tapi, Mah?” Tanyaku heran.
“Annie! Kenapa kamu mengacuhkanku!” Suara lain terdengar dari sudut yang berbeda.
“Ehh kamu siapa?” Tanyaku semakin bingung.
“Annie, aku mamahmu, Nak.”
“Mamah? Di mana mamah berada?”
“Annie! Kamu melupakanku? Kejam!”
“Eh… Tunggu, aku bukan bermaksud-”
“Annie! Kamu juga melupakanku?”
“Rebecca? Aku tahu, kamu Rebecca, kan?”
“Annie?”
“Annie!”
“Annie!”
“Ini aku, Annie.”
“Annie, sayang?”
“Mamah di sini, Annie!”
“HENTIKAN SUARA BERISIK INI!!”
*
Aku Annie. Aku ingin menjadi nakhoda yang mengelilingi dunia. Awalnya seperti itu, sebelum suara-suara aneh itu terus menggangguku setiap saat. Mereka tiba-tiba datang, dan kemudian pergi menyisakan perasaan sedih. Orang-orang disekitarku tidak ada yang peduli, dan menganggapku gila. Tetapi menurutku, justru mereka lah yang gila karena tidak dapat memahamiku dengan benar. Aku bahagia, aku mempunyai teman-teman yang selalu ada di sekitarku. Aku selalu bercengkrama dengan mereka, mengajakku bermain dan melakukan banyak hal. Tetapi aneh, banyak yang menganggapku gila. Itu yang membuatku sedih.
Manusia memang tak punya hati. Mereka mengatakan ini dan itu yang bisa melukai hati. Mereka mengatakan kalau mamah sudah tidak ada, tapi nyatanya mamah selalu ada di sampingku. Atau teman masa kecilku, Rebecca, kata mereka dia sudah tidak bermain denganku lagi tapi nyatanya dia selalu ada untukku. Mereka tak pernah mau peduli, manusia itu begitu jahat. Dunia ini selalu menakutkan. Tapi juga menyenangkan. Kehidupanku yang samar-samar, membuatku merasakan hal yang berbeda.
Namaku, Annie. Annie? Annie siapa? Apakah ada nama Annie di dunia ini?
“Annie, kamu tahu? Kamu sebenarnya sudah meninggal,” suara aneh dari sudut lain terdengar.
“Tidak, tidak mungkin, aku belum meninggal,” bantahku.
“Oh, kamu masih belum menerimanya?”
Setelah dia mengucapkan itu, dia kemudian menjatuhkanku ke bawah, dan semakin bawah. Gelap, semakin gelap, dan semakin gelap. Dingin, semakin dingin, dan sangat dingin. Sunyi, semakin sunyi, dan sangat sunyi. Aku bahkan tidak bisa menemukan dasarnya. Suaraku menghilang, dia tak pernah berhenti tertawa.
“Coba kamu lihat, itu apa? Yup, ini adalah peti matimu,” tungkasnya. Dia memperlihatkanku sebuah gambaran yang aku sendiri tidak tahu itu darimana.
“Peti mati? Tidak, tidak. Aku belum mati.”
“Annie yang malang. Kamu tahu apa dengan kematian? Sudah jelas peti matimu di sana, dan mereka adalah orang-orang yang hadir untuk mendoakanmu,” cecarnya sembari menunjuk orang-orang yang wajahnya tidak bisa kukenali. Mereka seperti tak memiliki wajah.
Ada banyak sekali pertanyaan yang muncul dipikiranku tentang hal yang tengah terjadi kepadaku. Tentang, siapa? Mengapa? Bagaimana? Di mana? Dan juga, apa? Aku di sini terjun ke tempat yang tak berujung, sepi, gelap dan dingin. Kemudian, tentang suara misterius yang sedang berbincang denganku. Siapa dia?
“Aku Annie!” sambarnya. Suara misterius tersebut mewujudkan dirinya dengan bentuk seperti diriku, tetapi dengan wajah yang teramat pucat.
“Aku adalah kamu, dan aku tahu tentangmu,” lanjutnya.
Dia menutup gambaran peti mati yang baru saja dia perlihatkan kepadaku tadi. Semuanya menjadi gelap. Tetapi aku masih melihat dirinya. Dia berjalan-jalan mengitariku yang tengah melayang terjatuh.
“Annie! Apakah kamu tidak lelah? Dunia ini membencimu? Mereka semua tidak ada yang sayang kepadamu. Kamu itu sudah seharusnya untuk mati, Annie!”
“Mereka…mereka baik terhadapku. Mereka selalu ada untukku. Mereka mau bermain denganku,” jawabku dengan tersedu-sedu.
“Mereka? Oh? Mereka yang selama ini palsu? Itu hanya fatamorgana yang kamu buat sendiri. Ah benar! Ternyata benar! Kamu itu sudah gila! Mereka semua juga sudah tidak ada, Annie. Mereka semua sudah mati.”
Tiba-tiba, punggungku membentur tanah. Kemudian, tubuhku terpelanting ke sana dan sini. Kepalaku berdarah, sangat berdarah. Aku bisa melihat tanganku terlepas, begitu juga tanganku yang satunya. Lalu ada seseorang yang menarik kakiku, dan melempar tubuhku sekali lagi, membuat kepalaku menjadi terpisah dengan lehernya. Aku dapat melihat seisi perutku yang berantakan. Tak lama, belatung mengejar seisi organku yang berceceran itu. Mereka mengerumuni dan memakannya dengan rakus. Aku hanya bisa melihat dan tidak bisa berbuat apa-apa.
“ANNIE! APAKAH SEKARANG KAMU SUDAH SADAR? DUNIA INI KEJAM!”
Siaran berita lokal hari ini tengah sibuk menyiarkan kasus kematian seorang gadis bernama Annie yang tewas mengenaskan dengan tubuh yang sudah tidak utuh. Tubuh Annie berceceran di dalam rumahnya. Tidak ada satu orang saksi yang dapat menjelaskan kematiannya. Hasil autopsi pun tidak dapat menjelaskan sebab kematian Annie.
Pihak kepolisian hanya mendapatkan informasi dari masyarakat sekitar kalau Annie hanyalah orang gila yang suka berimajinasi. Dia selalu berbicara sendiri, dan seakan-akan dia memiliki teman khayalan. Kedua orang tua Annie sudah meninggal, dan jasadnya hingga sekarang masih belum bisa ditemukan.
“Iya, dari hasil penyelidikan sementara, kami dari pihak kepolisian belum bisa memberikan sebab yang pasti. Kematiannya sungguh ganjil,” terang salah satu pihak kepolisian.
Di dalam rumahnya, terdapat banyak sekali kertas berserakan yang berisikan nama-nama orang, salah satunya adalah nama dari kedua orang tua Annie. Semua nama ditulis dengan darah. Dari daftar nama tersebut, diketahui ada puluhan nama yang tersebar di sepenjuru rumahnya. Bau anyir menyeruak dari dalam rumahnya. Nama-nama tersebut sekarang dalam penyelidikan kepolisian. Nama-nama itu ditengarai merupakan nama-nama orang terdekat Annie yang juga hilang bersamaan dengan kedua orangtuanya.
Di sudut kamar, ada kertas yang menempel di dinding, namun bukan nama orang. Kertas itu bertuliskan, “Aku Annie! Aku ingin kalian tetap ada di sisiku.”
(***)
Nova Saefudin
Cirebon, 17 Juli 2022