(CIO) – Waktu bergulir tiada terasa, kini Forum Taman Baca Masyarakat (TBM) sudah memasuki usia 17 tahun. Usia yang sangat remaja untuk suatu wadah yang menghimpun dan berorganisasi bagi masyarakat penggiat literasi yang bersifat mandiri. Sebagai sebuah organisasi nirlaba, Forum TBM tetap eksis dan penuh dedikasi dengan bergerak dan terus menggerakkan literasi di Indonesia.
Di usia muda yang penuh gelora, Forum TBM yang bergerak demokratis, mandiri, dan profesional ini, perlahan tapi pasti menjalar masif ke pelosok-pelosok negeri guna mencerdaskan kehidupan bangsa melalui kegiatan literasi.
Forum TBM menjawab kerisauan dengan tindakan. Kerisauan akan kurangnya minat baca di Indonesia, minimnya konsumsi buku pada anak-anak, dan hasil survei yang menasbihkan kesadaran literasi masyarakat Indonesia berada di peringkat bawah. Forum TBM mewadahi para relawan literasi yang bermunculan di sudut-sudut Tanah Air yang melakukan segala cara untuk membangun generasi berdaya, berkualitas, dan siap bersaing di era teknologi abad 21 dengan literasi.
Segala cara di sini maksudnya bukan hanya menyediakan bahan bacaan berharga, namun juga menerjemahkannya dengan berbagai aksi (event) untuk menumbuhkan kesadaran membaca masyarakat, khususnya anak-anak di sekitar mereka.
Semua dilakukan benar-benar independen, tanpa bantuan dana pihak manapun, mulai dari hal-hal kecil dan sangat sederhana hingga yang cukup besar. Dari segala penjuru, relawan yang menamakan diri dengan sebutan pojok baca, kedai baca, rumah baca, teras baca, kafe baca, taman baca, serta sebutan-sebutan unik lainnya menyediakan berbagai macam buku bacaan dan terus bergerak dan menggerakkan di berbagai tempat untuk memenuhi dahaga baca dengan pilihan bacaan yang kian beragam.
Rasanya sulit dipercaya semua aksi berbasis ikhlas itu bisa dilakukan berkesinambungan, dan dengan bantuan ‘tangan-tangan malaikat’ semua bertumbuh dan besar.
Bagaimana tidak, untuk menyediakan berbagai bahan bacaan berkualitas bukanlah mudah dan murah. Kita tentu menyadari harga-harga buku yang cukup mahal dan takkan mampu dibeli oleh sebagian besar masyarakat kita yang tinggal di pedesaan dan hidup dalam garis ekonomi lemah.
Para relawan ini memahami betul, tak patut menyalahkan kurangnya minat masyarakat dalam membaca hingga menyebabkan terpuruknya literasi di Indonesia. Yang seharusnya negara menyediakan fasilitas, memberi akses bacaan yang mudah, lengkap, dan memadai untuk menumbuhkembangkan kesadaran literasi. Ketika hal ini kurang direspon pihak-pihak terkait, para relawan tampil mandiri, bergerak dan menggerakkan sendiri agar masyarakat, khususnya generasi muda memperoleh dunianya yang hilang lewat literasi, anak-anak menemukan kebahagiaan lewat bacaan yang menambah wawasan, para penerus bangsa di masa depan ini akan menemukan potensi diri yang akan membuat mereka tumbuh penuh percaya diri.
Taman bacaan masyarakat saat ini memiliki ruang gerakan yang beragam, baik dari segi fasilitas, ruang lingkup kegiatan, hingga sumber daya yang dimiliki. Ada TBM yang sangat banyak bukunya, dengan fasilitas membaca yang nyaman menyenangkan. Ada juga yang sangat sedikit, dan dengan fasilitas ala kadarnya. Tak hanya di tengah kota, ada taman baca yang jauh di sudut kampung, di daerah terisolir, dan di desa-desa pinggiran. Ada pengurus yang berstatus penulis, guru, mahasiswa, ibu rumah tangga, dan berbagai latar belakang lainnya. Semua perbedaan itu menjadi tak penting karena satu tujuan, menggerakkan literasi dengan hati.
Bergerak secara mandiri tak cukup karena mampu saja, namun kemauan yang kuatlah yang utama. Para relawan ini tak kenal lelah juga menggerakkan. Tak hanya mengajak masyarakat untuk mencintai budaya baca, namun juga mengetuk hati mereka yang berkepentingan untuk bersinergi dan berkolaborasi.
Bentuk sinergi ini tentunya dengan segala akses dan fasilitas yang bisa diberikan, entah itu berupa bahan bacaan, menyediakan fasilitas baca, hingga mensponsori berbagai kegiatan yang bertema menumbuhkembangkan literasi di masyarakat. Intinya, gerakan ini untuk mendapatkan dukungan moril dan materil menutupi kekurangan kekurangan yang ada.
Buku dan fasilitas memang penting, namun nyawa dari sebuah taman baca adalah pada pengelolanya, ruhnya bergantung pada aktivitas. Lapak baca gratis, diskusi, webinar, atau konten-konten di media sosial adalah sumber yang menjadi asupan gizi yang baik untuk menyehatkan komunitas literasi.
Karena itu, para pegiat literasi dan taman bacaan dalam menjalankan aktivitas luhurnya perlu memastikan kinerja taman bacaan optimal, promosi setiap aktivitas literasi, dan kolaborasi taman bacaan dengan pihak ketiga untuk mendukung gerakan literasi.
Persoalan klasik yang amat mendasar taman baca masyarakat tidak hanya pada kurangnya buku bacaan, atau tidak adanya anak yang mau membaca, namun juga kesulitan pengelolanya mencari jalan untuk keberlangsungan komunitasnya, akibatnya semangat yang amat berkobar di awal meredup sendiri, dari sepenuh hati menjadi setengah hati.
Untuk itu dalam rangka terus bergerak dan menggerakkan, para relawan perlu menanamkan dedikasi yang tinggi layaknya para pejuang yang mengorbankan apapun untuk sebuah kemenangan. Pejuang literasi sejati adalah mereka yang ikhlas menempuh ‘jalan sunyi’ yang jauh dari selebrasi demi menumbuhkan jiwa literasi anak-anak bangsa. Melihat anak-anak bahagia membaca adalah hadiah yang amat indah, lelah yang menjadi lilah, dan menjadi amal jariyah yang membantu jalan kita di hari akhir.
Ayo sahabat pegiat literasi, teruslah bergerak dan menggerakkan untuk memberi kebahagiaan kepada anak bangsa!.(HB)