Close Ads Here
Close Ads Here
Close Ads Here
Close Ads Here

Santai Saja, Belanda Masih Jauh

(Cakrawalaindonesia.online) Pernah dengar saran di atas? Kalau iya, anda satu generasi dengan saya, bisa di atas atau sedikit di bawah saya.

Biasanya, kalau besok mau ujian, lalu ada teman yang tergopoh-gopoh pergi ke teman-temannya, untuk memfotocopy catatan kuliah. Lalu ketika balik ke kost-an, temannya memberikan advis seperti di atas. Lalu apa yang ia lakukan? tertidur karena kecapekan.

Besoknya bangun, ia kembali gugup, belum membaca catatan yang sudah difotocopy. Lalu ia mandi tergesa-gesa. Berangkat ke kampus tergesa-gesa.

Kira-kira ia bisa mengerjakan ujiannya? hmmm. Kalau ditanya bisa apa, ngga? ia akan menjawab bijak, “Yang berlalu, biarlah berlalu…”

Saya ngga’ tahu ini pola individual atau komunal. Tetapi melihat respon netijen menyikapi wabah, kurang lebih seperti cerita di atas. Saat membaca berita orang-orang India, sampai menggunakan kotoran sapi, agar terhindar dari corona, bahkan menyembah dewi corona, netijen kita tertawa dan mengolok-olok.

Saat ada berita ABK di Cilacap tertular virus varian India. Seolah sikap kita masih sama. Bahkan di grup WA, saya punya kawan dari Kudus, saat ditanya, “Gimana kondisi Kudus?”, lalu ia menjawab dengan meme, “Kudus baik-baik saja”.

Di grup lain, ada teman yang dengan ringan menjawab, “Saya setiap hari bolak-balik ke Kudus, dan ngga’ seperti berita di media yang dilebih-lebihkan.”

Bahkan ada yang unik, saat salah seorang pengurus di suatu komunitas, menyampaikan informasi warning, “Varian delta sudah sampai kota X”

Ada warga dari kota X yang ngga’ terima. Seandainya data tersebut benar, Bapak jangan menyebarkannya. Saya orang situ ngga’ terima. Singkatnya begitu.

Belum di komunitas religius, penyangkalan menggunakan dalil-dalil agama. Corona ini kalau ngga’ diberitakan ya ngga’ ada. Itu cuma politis.

What’s wrong dengan psikologi masyarakat kita ini. Bahkan untuk berempati dengan korban musibah, mereka memilih denial dan tidak percaya.

“Lha wong masih sampai di kota X,” kok kita sudah heboh. Kan belum sampai di kota kita. Bupati dibully. Ustadz yang jadi korban wabah dan sedang positif dibully. WAG harus steril dari pembicaraan corona, kecuali yang menyatakan corona ngga’ ada. Itu baru boleh dishare. Didukung admin. Dan melarang ada yang membantahnya.

Jika kenyataan itu pahit. Maka menolak kenyataan itu lebih pahit akibatnya. Menerima kenyataan, ridho, dan melakukan usaha antisipasi dan mitigasi memang ngga’ semudah cerita-cerita sirah Nabi.

Adapun menolak kenyataan. Lari dari kenyataan, bahkan ada yang mengakhiri hidupnya jauh dari nilai-nilai beragama. Kenapa banyak orang mengingkari sesuatu yang disepakati di kalangan ilmuwan dan para ulama?

Ada kalimat yang pernah diucapkan Syekh Hamid Akram Al Bukhary dalam sebuah acara daurah, “man qolla ilmuhu katsura inkaruhu” (Barangsiapa yang sedikit ilmunya akan banyak mengingkari).

Santai, menunda, meremehkan, menyangkal, merasa tahu dan merasa cukup itu semua masalah mental. Procrastination. Suka menunda-nunda. Lalu saat tiba waktunya akan menyesal dan merasa rugi. Sesuatu yang diingatkan dalam surat Al Ashr. Waktu adalah sesuatu yang akan cepat habis. Kita sama-sama diberi kesempatan untuk meyakini kebenaran, melaksanakan kebenaran, menasihati kebenaran dan sabar dalam kebenaran.

Ada satu kalimat ringkas mahfuzhat dulu di pesantren yang diajarkan, “Ijhad wa la taksal, wa la taku ghafilan fanadamatul uqba liman yatakasalu.“(Bersungguh-sungguhlah, jangan malas, dan jangan lalai, penyesalan itu adalah akibat bagi orang yang malas).

Semua penyesalan, diawali dari tidak mau mendengar, tidak mau berpikir dan kemalasan yang dilegitimasi kata-kata bijak tapi beracun.

(***)

Penulis: Hanif Acep

Lisana Institute: _Sahabat Belajar Al Qur’an_
Wa.me/6282167118380