Close Ads Here
Close Ads Here
Close Ads Here
Close Ads Here

23 September

23 September.

Hari ini ulangtahunmu, Nak.

Sengaja aku membelikan lilin yang tak pernah padam, sekuat apapun angin meniupnya. Sengaja aku ucapkan malam-malam menjelang tidur pulasmu agar terbawa dalam mimpi sempurna.

Kau adalah murid yang acap selangkah berjalan di depanku, menjadi guru dengan binar mata kanak kanakmu. Mengajariku tentang tawa dan cinta.

Kesya, kadang aku pikir buat apa membuat puisi, karena semenjak dalam rahim kita sudah bermain-main memilih diksi, sejak jantungmu belajar berdegup kencang dan dalam dekapanku kali pertama.

Tanganmu menggapai bait-bait doa, kakimu menendang kata-kata buruk yang harus dibuang dan kau lahir menjadi puisi itu sendiri: indah dan nyata.

Aku memang penyuka senja, tapi kau selalu mengajariku bahwa matahari pagi juga tak kalah pesonanya.

Aku mencatatnya.

Di binar matamu bunga-bunga kuncup bermekaran, embun pagi menetes dari jemari kecilmu jatuh di pipiku, mengalir turun meresap ke dalam dada. Menjadi mata air yang paling sejuk dalam hidupku.

“Kesya sayang Bunda,” ucapmu tadi malam sebelum tidur. Malam nanti peluk aku sekali lagi, Nak, bisikkan lagi kata kata itu. Obat dari segala obat dalam hidupku.

Ada hari yang memang harus diabaikan, tapi tidak dengan hari ini. Aku mengingat tangis pertamamu dalam doa-doaku. Aku mengingat kata pertama yang keluar dari mulutmu dan selalu aku ingat sepanjang hidupku.

Selamat ulangtahun, Sayang,
Tuhan tidak akan pernah bosan dengan hal-hal baik yang selalu aku minta buatmu.

Bahagialah selalu, Nak.

(Bandung, Stillness)

Penulis: Tanti Kuben Koko

Penulis: Tanti Kuben KokoEditor: M Syari Faidar