YOGYA (CIO)—Wajah Malioboro kini berbeda dari sebelumnya yang mudah ditemui pedagang kaki lima (PKL) di sepanjang emperan toko.
Sejak PKL di Malioboro dipindah ke satu tempat khusus bagi pedagang para pengunjung lebih leluasa menikmati malam di jantung Kota Yogya.
Kawasan Malioboro tidak hanya sebagai tempat bersantai, bahkan dimanfaatkan untuk bekerja menggunakan gawai.
Ardi misalnya, warga Jakarta yang berlibur ke Yogya namun masih menyelesaikan pekerjaan kantornya.
“Di sini (Malioboro) suasananya mendukung untuk sekadar bekerja dengan gawai,” katanya.
Ia mengakui suasana malam hingga pagi di Malioboro sangat terasa hidup. Suasana itu membuatnya betah berlama-lama.
“Sayangnya tidak ada fasilitas untuk mengatasi baterai ponsel atau laptop yang habis,” selorohnya.
Kawasan Malioboro yang tidak pernah sepi pengunjung itu ditutup bagi kendaraan mulai sore pukul 16.00-22.00 WIB.
Para wisatawan yang datang ke Yogya tidak akan melewatkan malam di Malioboro.
Martin, warga Yogya yang kini berdomisili di Jakarta bersama keluarganya kaget melihat Malioboro yang drastis berubah.
Ia tidak mengira Malioboro yang sebelumya ruwet kini tampil lebih beda meski kehilangan khas tradisionalnya.
“Kalau dulu ada PKL di sepanjang trotoar, sekarang jadi lebih nyaman untuk jalan kaki,” kata pria yang punya hobi videografi.
Martin ingat betul terakhir meninggalkan Yogya yang masih memiliki suasana tradisional.
Sekarang, kata Martin, becaknya pun bermesin tidak digayuh menggunakan kaki. Andong yang semula menjadi alat transportasi berubah menjadi transportasi wisata.
“Mau bagaimana lagi, mau tidak mau harus mau berubah mengikuti jaman,” katanya.
Ia menyinggung lagu berjudul ‘Yogyakarta’ ciptaan KLA Project yang dilantunkan oleh Katon Bagaskara.
Lagu yang menceritakan suasana Yogya dengan kekhasan budayanya termasuk suasan malam di Malioboro yang dahulu menjadi tempat bagi para seniman.
“Apakah masih relevan dengan suasana Yogya sekarang,” pungkasnya. (adham)