Close Ads Here
Close Ads Here
Close Ads Here
Close Ads Here

Toke nan Malang (3)

Oleh : Agus Sutawijaya.

(CIO) — Semakin hari perangai Budiman semakin menjadi-jadi. Semakin banyak pula uang yang terpaksa dikeluarkan Toke sekedar untuk mengganti kerusakan ataupun membawa anak lain berobat ke tukang urut. Maknya seringkali hanya bisa mengurut dada. “Jangan terlalu diperturutkan perangai anak Tuan, sesekali nasihatilah ia, jika perlu pukul lah sebagai pengajaran”, ucapnya lembut kepada Toke sambil menyodorkan sepiring pisang rebus pada suami yang sangat dicintainya itu. Berhati-hati sekali ia menyampaikan kata-katanya, karena ia tahu, segala sesuatu tentang Budiman akan sangat sensitif di telinga Toke.

“Jangan ikut pula kau seperti orang-orang kampung itu Lena. Tak sedikit pun kalian mengerti bagaimana menjadikan anak menjadi dokter. Menjadi dokter!!” Sergahnya. Mak Lena pun beringsut, kembali ke dalam rumah.

Bukan sekali dua kali orang kampung yang dihormati memberikan Toke Nasihat, namun tetap saja tak mampu merubah perlakuan istimewa Toke pada bujang semata wayangnya. Dan jadilah, kian hari Budiman semakin menjadi. Ia tahu, tak akan ada satu orang pun di kampung ini yang akan berani memarahinya tidak juga Mak Lena, ibunya.

Hari berganti musim berlalu, tibalah saatnya Budiman berangkat ke Jakarta. Telah yakin benar Toke pada pilihannya untuk menyekolahkan Budiman di tanah Jawa. Baginya, niat menjadikan Budiman seorang dokter haruslah tercapai tak perduli berapapun biayanya. Ia rela menukar seluruh harta yang dimilikinya dengan dua huruf yang akan disematkan di pangkal nama anaknya. Betapa gagah dan menterengnya gelar itu dalam bayangnya. Dan betapa ia akan bahagia dan merasa hidup yang sempurna jika kelak anak bujang itu mendapatkannya.

Menjelang keberangkatan Budiman ke Jakarta, digelar jugalah selamatan seperti mana ketika ia diaqiqahkan dahulu. Semua warga kampung diundang, “dipanggie” menurut budaya kami. Do’a bersama dipanjatkan, berbagai macam hidangan disajikan dalam ratusan “Jambau”. Jambau sendiri merupakan sebuah nampan bulat besar tempat menyajikan makanan. Menu makanan tersusun dalam mangkuk atau piring di dalamnya. Ada Rendang, Kolio, Asam Podeh, Ulam, Sambal Lado dan semangkuk Dadio.

Dadio adalah makanan penutup yang terbuat dari susu Kerbau yang difermentasikan secara sederhana dan diletakkan di dalam potongan “Tolang”, jenis bambu beruas panjang berukuran sebesar jempol kaki dewasa. Dadio diletakkan di dalam mangkuk dan disiram dengan kuah santan dan gula enau. Rasa Dadio yang sedikit asam berpadu dengan kuahnya yang manis dan gurih menjadi salah satu hidangan istimewa di setiap jambau. Dalam susunan di dalam jambau Dadio selalu diletakkan di tengah.

Semua warga kampung tak terkecuali hadir di rumah Toke. Para pembesar kampung duduk melingkar di atas rumah panggung Toke yang bertangga beton. Sementara warga lainnya duduk di bawah tenda di halaman rumah. Sementara di bagian belakang rumah, ibu-ibu sibuk menyiapkan masakan untuk warga. Bergoni beras ditanak. Ribuan butir kelapa dikeping dan “dipangu” (diparut). Ratusan ikat kayu bakar telah digunakan untuk menghidupkan puluhan tungku yang terbuat dari potongan batang pisang batu. Semua warga terlibat. Begitulah keadaan di kampung kami setiap kali ada warga yang melakukan hajatan atau kenduri, skalanya saja yang berbeda, namun semangatnya tetap sama. Gotong Royong.

“Ka ladang kito ka ladang, ka ladang ba tanam padi diulang kato diulang, maulang kato nan tadi, nan kami gantuong tali pendek tuok, nan digonang ayu saketek, satontang tujuan mukosuik datuok, bosuo bak kato uang, dek pandai uang limbago manobang, pandai manotak si kayu agho, dek pandai limbago batenggang aso, litak nasi tibo, iyo kami temo jo le tuok.”

“Sampai didongau kato datuok dek datuok la baindang ba tompi, bue batitiong dodak jo niu, ata dak kan papilio, dodak dak kan batompi, padi la bone ka satongkainyo, itu bonau nan dicinto, itu bonau nan pintak la balaku, doa ala mukobue, bosuo bak kato uang tuok, tobang lah buruong duo tigo, inggok saiku di tapakan, kami bukak tuduong dek uang limbago, mola sasamo kito makan sojak di ujuong sampai ka pangke, Bismillahirahmaaniraahiim”.

Demi didengar bahasa indah baisuacuong sampai pada kata bismillah, maka dimulailah jamuan makan hari itu.

Keesokan harinya, dengan menumpang Bus Batang Kampar, Budiman berangkat ke Pekanbaru untuk selanjutnya menuju Jakarta diantarkan oleh H. Yunus, seorang saudagar asal Kuok yang sukses di Jakarta. Ia merupakan salah seorang kolega Toke. Dulu mereka pernah menjadi Mboyan. Istri pertama H. Yunus adalah kakak dari mantan istri Toke yang kedua.

“Tolong bimbiong inyo Ji” bisik Toke ke telinga sahabatnya seraya memeluknya erat.

(***)

Penulis: Agus SutawijayaEditor: M Syari Faidar