JAKARTA(Cakrawalaindonesia.id) – PT PLN (Persero) menyiapkan sistem pembangkit listrik yang fleksibel dalam menopang transisi energi di Indonesia. Pembangkit fleksibel ini dinilai penting agar pasokan listrik selalu andal selama 24 jam.
Direktur Transmisi dan Perencanaan Sistem PLN, Evy Haryadi mengatakan salah satu faktor penting menyukseskan program transisi energi fosil ke energi baru terbarukan (EBT) adalah, menyiapkan teknologi yang bisa mengakomodasi bauran sumber daya EBT untuk masuk dalam sistem PLN.
Sehingga, lanjut Haryadi, yang pertama kali mesti dipecahkan adalah perhitungan _supply_ dan _demand_ listrik dari EBT.
“Dulu fluktuasi hanya dari segi _demand_ listrik. Begitu menggunakan pembangkit EBT, fluktuasi juga terjadi dari sisi _supply_. Karena kita tahu matahari nggak bersinar terus dan angin adakalanya berhenti berembus. Sehingga kita butuh pembangkit yang fleksibel agar pasokan listrik selalu tersedia 24 jam,” paparnya pada sela agenda Indonesia National Electricity Day 2022 di Jakarta (29/11).
Lebih lanjut ia menjelaskan, pembangkit fleksibel ialah pembangkit listrik yang dapat mengantisipasi sifat intermiten pada bauran EBT. Sehingga, dapat meminimalisasi dampak perubahan kondisi cuaca terhadap keandalan pasokan listrik.
PLN telah melakukan berbagai inovasi guna mendorong transisi energi fosil ke EBT, di mana pada Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021 – 2030 porsi EBT mencapai 51,6 persen dari keseluruhan pembangkit dalam sistem PLN.
“Seperti yang telah direncanakan, kami akan mengurangi emisi karbon melalui peningkatan pemanfaatan EBT. Nah, saat ini kami sedang menyiapkan bagaimana EBT ini bukan hanya andal dan efisien, tetapi juga terjangkau oleh masyarakat,” ungkapnya.
Dalam rancangan PLN, saat ini Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) punya potensi besar karena biaya produksinya rendah dan juga sangat fleksibel. Tantangan pengembangannya terletak pada potensi lokal air/hidro yang terbatas.
Sedangkan untuk pembangkit listrik berbasis panas bumi (PLTP) masih terkendala infrastruktur dan biaya operasionalnya tinggi.
“Saat ini PLN mengandalkan PLTA dan PLTP sebagai pembangkit listrik yang fleksibel. Ke depan, dengan semakin variatifnya EBT yang masuk dalam sistem PLN, kita semakin membutuhkan pembangkit yang fleksibel. Mengingat sebagian besar pembangkit fosil kita gunakan sebagai _base load_,” tambahnya.
Target yang dicanangkan PLN sampai 2030, EBT mampu menghasilkan 20,9 Giga Watt (GW) dari total 40,6 GW daya listrik PLN. Dengan rincian PLTA 10,4 GW, PLTS 4,7 GW, PLTP 3,4 GW, dan 2,5 GW dihasilkan dari pembangkit EBT lainnya.
Saat ini, PLN tengah membangun _Smart Micro Grid_ dengan manajemen pembangkit dan distribusi yang terdigitalisasi.
“Kami juga membangun _Smart Micro Grid_ untuk meningkatkan pemanfaatan EBT di daerah terisolasi. Jadi, perlu saya tegaskan lagi bahwa transisi energi adalah kesempatan untuk bangsa ini mengambil alih masa depan,” tutupnya.