(CakrawalaIndonesia.Online)
Sependek apakah Jangkauan dan Pemahaman Politik Akademisi/Cendikiawan Kampar?
Judul ini tidak menuduh, tapi bertanya, makanya ada tanda tanya diujungnya, Sependek apakah jangkauan dan pemahaman politik akademisi/cendikiawan Kampar?
Latar belakang Peran Aktor Politik dalam Hiruk Pikuk Politik Kampar:
Siapa saja yang paling berperan dalam hiruk pikuk politik Kampar dewasa ini?, paling tidak ada beberapa aktor atau kalau mau disebut kelompok diantaranya : DPRD/Politisi, LSM, “Petualang Politik”, tokoh (baik kalangan agamawan maupun non-agamawan), mahasiswa, media massa, birokrasi, dan secara samar menuju hampir tidak terlihat alias langka bahkan hampir punah adalah peran kaum profesional dan akademisi/cendikiawan.
Petualang Politik Kelompok ini ngga’ pernah alfa dalam kancah politik Kampar, bajunya macam-macam, lebih tepatnya kedok alias topeng, mulai dari LSM, Ormas, pasukan penjaga tokoh, hingga kedok sebagai pasukan penjaga tradisi. Polanya juga macam-macam, berkait erat dengan penguasa serta tokoh politik.
Oligarki dan Kompetisi Elit.
Sekarang terlihat adanya kecendrungan akan sempitnya ruang kompetisi yang sehat karena dinasti politik dan penguasaan modal/kapital atau kekayaan material dari jejaring keluarga serta warisan penguasa. Selain itu, menguatnya oligarki struktur politik dan terakhir semakin pragmatis/oportunis-nya elit politik. Lalu kondisi ini dibantu diperburuk oleh watak elit lokal (dari elemen masyarakat) yang lebih sangat pragmatis/oportunis dalam memberikan dukungan politik.
Kartel DPP Partai Politik.
Pilihan Pemimpin Politik Kabupaten Kampar untuk Calon Bupati banyak dipengaruhi oleh kontrak- kontrak politik antara DPP dan DPD Partai atau kartelisasi (Kartel) DPP Partai Politik. Tentu hal ini tidak gratis, diawali dengan setoran yang maha hebat, dimana akan dibalas oleh oknum elit partai politik di tingkat kabupaten dengan berpikir untuk mengembalikan setoran tadi dan kemudian memperkaya diri serta melupakan tanggung jawabnya dalam mengemban amanat rakyat.
Tim Sukses.
Sandera tim sukses biasanya akan muncul setelah kemenangan dalam pilkada didapatkan, lalu muncullah berbagai Tim yang merupakan pengejewantahan kelompok tim sukses Bupati terpilih. Jasa yang diberikan tim sukses melegitimasi mereka untuk merasa punya hak melakukan manuver atau menuntaskan dendam politik yang menyengsarakan masyarakat, terutama yang haluan politiknya berbeda. Salah dua misalnya mutasi pejabat, mutasi guru dan kepala sekolah serta akrobatik lainnya. Dan yang tidak kalah penting adalah penguasaan berbagai paket proyek pembangunan Kampar di tangan para bekas tim sukses. Kondisi ini melanggengkan korupsi, kolusi dan nepotisme di daerah.
Lembaga Informal dan Pemuka Masyarakat.
Struktur arena politik lokal yang menunjukkan lemahnya hubungan partai politik dengan masyarakat, melahirkan patron klien (tokoh informal) dari pemuka masyarakat dan juga berkembangnya institusi informal baik yang terafiliasi dengan Parpol maupun tidak dan digunakan hanya untuk mendulang suara ketika Pilkada.
Latar belakang Kesenjangan:
APBD.
Semua Bupati Kampar akan bilang bahwa prosedur penyusunan APBD sudah mereka lewati dengan benar, lalu dibuatlah kesan bahwa APBD disusun secara bottom up dengan mekanisme RPJM. Tapi, percayalah jika ada yang berani membuka kedok APBD, hasil akhirnya akan ditemukan bahwa APBD itu jauh dari aspirasi rakyat. APBD didominasi oleh eksekutif dan DPRD. Pihak non-birokrasi atau pihak luar hanya sebagai penonton yang tidak punya serta tidak diberikan akses untuk berpartisipasi. Hasilnya, kualitas kesejahteraan masyarakat dan pelayanan publik tetap rendah, dibuktikan dengan gagalnya memberikan pelayanan prima bagi masyarakat.
Kegagalan Parpol menghadirkan Pemimpin.
Dalam sejarah perjalanan pemerintahan Kampar, tidak ada pencapaian signifikan yang bisa dibanggakan, perhatikan kesenjangan ekonomi, perhatikan prestasi pendidikan, perhatikan tingkat investasi, perhatikan perkembangan BUMD, perhatikan kebanggaan masyarakat sebagai masyarakat Kampar. Mayoritas kepemimpinan Kampar berasal dari Partai Politik, tapi mayoritas juga gagal dalam memberikan kebanggaan kepada masyarakatnya. Hal ini disebabkan oleh dasar analisis terhadap fakta yang muncul dilakukan secara salah. Sehingga Kesalahan membaca fakta tersebut berakibat fatal dalam desain kebijakan-kebijakan, baik ekonomi, politik dan pendidikan yang menyangkut nasib jutaan masyarakat Kampar.
Minimnya partisipasi Kelompok Marjinal.
Apakah kelompok-kelompok marjinal di tingkat lokal sudah dilibatkan dalam ruang dinamika politik atau belum. Apakah suara mereka sudah masuk dalam agenda pengambilan kebijakan, apakah hak-hak mereka sudah diperhatikan. Jika kelompok-kelompok marjinal dalam suatu kawasan belum tersentuh (hak-hak politiknya) dalam dinamika politik Kampar, maka akan terlihat bagaimana dinamika politik kita telah gagal.
Pelacuran Intelektual.
Pelacuran intelektual ini banyak kita lihat tidak saja dalam hajatan Pilkada tapi juga dalam kehidupan sehari-hari. Pelacuran intelektual tidak saja karena “menjual” secara murah sebuah analisis akademis hanya untuk kepentingan “kalonsang” dan jabatan, menjilat sana-sini, tetapi juga menghindar dari peran membangun narasi kritis dan menggongong kebijakan Pemda, abai dengan aktivisme membangun kesejahteraan rakyat dan asyik masyhuk dengan kepentingan jurnal atawa “scopus” :).
Kemana Akademisi/cendikiawan kita:
Dalam dua latar belakang di atas (Latar belakang aktor Politik dalam Hiruk Pikuk Politik Kampar dan Latar belakang kesenjangan), nah dalam kondisi seperti ini muncul pertanyaan saya, dimana peran para akademisi di kancah perjuangan mewujudkan kesejahteraan rakyat di negeri Kampar tercinta ini?
Pengalaman dalam berbagai pilkada menunjukkan bahwa kebenaran lebih sering dipinggirkan digantikan dengan kepentingan diri dan ekonomi, yaitu seberapa besar seseorang membayar komentar atau analisis persoalan.
Jurnal dan Hantu “Scopus”
Sejauh yang terlihat sekarang, agaknya “peran utama” akademisi terdistorsi untuk mengisi kolom-kolom formulir dimana salah satu isi kolom tersebut adalah “berapa jumlah penelitian/penulisan/jurnal yang terindek scopus”. Hahaha inilah distorsi “tugas dan fungsi utama” Akademisi/cendikiawan saat ini.
Era ini menjadikan sebagian besar akademisi/cendikiawan menjadi apatis, egois dan individualis. Sejauh ini terlihat kebanyakan hanya peduli kepada dirinya sendiri (Capai S3, kejar Professor, indeks penelitian, jurnal dst). Asyik masyuk dengan “scopus”, serta hilang kepedulian sosial dan suara kritis.
Egoisme ini merupakan pengingkaran akan peran politik dan pemberdayaan akademisi/cendikiawan serta merupakan tanda kehancuran moralitas yang harusnya menjadi benteng penjaga cendekiawan dalam memaknai kiprahnya di dalam masyarakat.
Harapan:
Akademisi/cendikiawan Kampar semestinya tidak tinggal diam. Mereka mestinya membangun kekuatan dalam kebersamaan, mengorganisir diri dengan seluruh akademisi agar memberikan sumbangan yang lebih besar bagi terciptanya kesejahteraan masyarakat Kampar, serta hadirnya pemikiran kritis yang saat ini sangat dibutuhkan generasi penerus negeri Kampar.
Akademisi/cendikiawan Kampar harusnya bersinergi bersama mengarahkan wacana dan diksi terkait dengan kemaslahatan orang banyak, seperti sistem ekonomi, politik, budaya, ataupun pendidikan. Hanya dengan membangun sinergi dapat mengorganisir diri menjadi lebih kuat akan dapat mempengaruhi kebijakan Pembangunan Kampar kearah yang lebih baik.
Akademisi/cendikiawan semestinya berani mengevaluasi diri dan mengakui bahwa peran mereka dalam aktivisme dan membangun wacana dan analisis kritis pada kebijakan pemda yang berpijak pada kebenaran masih kurang.
Akademisi/cendikiawan semestinya berani mengevaluasi diri dan mengakui bahwa peran mereka dalam banyak media, baik cetak, tv dan digital lebih didominasi oleh akademisi “palsu” alias intelektual tukang yang dengan mudah menggadaikan kebenaran demi pemihakan pada siapa yang bayar dan siapa yang akan mengangkatnya jadi “Kudis”
Harapan kita, akademisi/cendikiawan Kampar senantiasa membangun daya kritis yang konstruktif, terdepan dalam mengajak dan mengasah kepekaan sosial terhadap masalah kemasyarakatan sehingga kehadirannya menjadi solusi terhadap persoalan masyarakat. Jangan hanya menjadi akademisi yang cuma tahu “Scopus”.
Harapan kita, akademisi/cendikiawan Kampar selalu bersuara nyaring dan memiliki kemampuan menyampaikan kebenaran kepada penguasa dan kemampuan menjaga jarak kritis terhadap kekuasaan.
Pertanyaan terakhir:
Tinta apakah yang akan ditorehkan para akademisi/cendikiawan Kampar dalam sejarah Kampar? Tinta hitamkah? Atau tinta putih bersinar terang?.
Wallahu’alam bissawab.
*Gusti Amri, dari topian Bonca Loyak, Teratak, Rumbio Jaya.
*Sebagian kecil harapan dalam tulisan ini saduran dari berbagai sumber.
Gusti Amri adalah Anak Jati Kampar, merupakan Pakar GCG dan sekarang bermastautin di Jakarta.