INDEKS

Merawat Kesiapsiagaan Masyarakat Tangguh Bencana di Pesisir Selatan Yogyakarta

Pesisir Selatan Yogyakarta
Merawat Kesiapsiagaan Masyarakat Tangguh Bencana di Pesisir Selatan Yogyakarta

KULON PROGO(Cakrawalaindonesia.id) – Ada sebuah desa yang cantik bernama Kalurahan Karangwuni. Lokasinya berada di Kapanewon Wates, Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta. Secara geografis, lokasi desa ini berada di pesisir selatan dan berhadapan langsung dengan Samudera Hindia.

Kecantikan dari Kalurahan Karangwuni ini tak lepas dari menjamurnya spot wisata di sepanjang garis pantai. Sebut saja Pantai Glagah, Pantai Krida, Pantai Palma, Pantai Raziman dan lainnya. Pantai di Kalurahan Karangwuni itu menjadi pilihan terbaik untuk menikmati _sunset_ atau matahari terbenam.

Karena berada di wilayah pesisir, sebagian besar masyarakat Kalurahan Karangwuni berprofesi sebagai nelayan, meski sebagian ada juga petani, pedagang, pegawai swasta hingga pegawai pemerintah.

Sebagai desa maritim, penduduk Karangwuni tentu saja sudah terbiasa dihadapkan laut selatan yang terkenal dengan ombaknya yang ganas. Hal itu tidak terlepas dari dongeng legenda Nyi Roro Kidul digadang-gadang menjadi sosok di balik keganasan pantai selatan Jawa itu.

Begitulah mitos laut kidul, konon siapa saja tidak boleh sembarangan jika berada di sana. Ada hal-hal yang harus dipatuhi. Itu berlaku bagi siapapun, baik warga sekitar maupun wisatawan atau pendatang baru.

Di balik dari fenomena itu, sebenarnya ada temuan sains yang harus disikapi dengan bijak. Yang jelas, hal itu tidak bisa disangkutpautkan dengan mitos penguasa laut selatan tadi.

Dari ilmu sains, wilayah selatan jawa memiliki potensi sesar megathrust yang membentang dari wilayah Banten hingga Banyuwangi di Jawa Timur. Sesar atau patahan itu merupakan bagian dari apa yang disebut “Ring of Fire”. Jika ditarik garis, patahan itu sebenarnya membentang dari barat Sumatera, selatan Jawa, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, Maluku Utara, Filipina, Jepang dan seterusnya.

Patahan itu menurut para ahli berpotensi memicu terjadinya gempabumi dan dapat mentriger gelombang tsunami. Namun kapan waktunya akan terjadi fenomena alam itu hingga saat ini belum dapat dipecahkan oleh sains.

Dari temuan sains itu, pemerintah kemudian mengambil kebijakan untuk memperkuat mitigasi, kesiapsiagaan masyarakat dan peringatan dini berbasis ekologi dan teknologi sebagai solusi dan antisipasi jangka panjang. Hal itu wujudkan dengan pembentukan Desa Tangguh Bencana (Destana) yang diprakarsai oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) sejak 2019.

Melalui program Destana, masyarakat dilatih untuk mempersiapkan diri mulai dari peningkatan kapasitas, mitigasi hingga memahami konsep peringatan dini. Program Destana itu sekaligus menjadi kolaborasi dan sinergi positif antara pemerintah dan masyarakat demi menciptakan manusia tangguh bencana.

Sejak program Destana masuk ke Kalurahan Karangwuni, masyarakat berangsur-angsur memahami adanya potensi ancaman bencana dari laut selatan. Kabar baiknya, masyarakat kini sudah semakin memahami bagaimana konsep hidup berdampingan dengan alam di mana di dalamnya ada konsekuensi besar yaitu potensi risiko bencana.

Pada hari Kamis (27/6), Letjen TNI Suharyanto S.Sos., M.M., yang membawa bendera BNPB mendatangi Kalurahan Karangwuni untuk memastikan bahwa kesiapsiagaan masyarakat yang telah dibentuk melalui program Destana masih terjaga dengan baik.

Suharyanto tidak sendiri. Deputi Bidang Pencegahan BNPB Prasinta Dewi dan Direktur Kesiapsiagaan BNPB Pangarso Suryotomo mendampinginya di tengah masyarakat dan relawan yang tergabung dalam Forum Pengurangan Risiko Bencana (FPRB) se-Kabupaten Kulon Progo. Penjabat Bupati Kulon Progo, Srie Nurkyatsiwi juga turut hadir di sana. Tentunya bersama jajaran forkopimda di bawah komandonya.

Dalam forum itu, Suharyanto menebalkan pengetahuan masyarakat terkait fenomena sesar tadi.  Menurut Suharyanto, wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) banyak sekali dilalui sesar yang sudah terdeteksi maupun yang belum.

Sebagai contoh, gempabumi dengan magnitudo 5.6 di Cianjur yang terjadi pada November 2022 itu dipicu oleh sesar yang keberadaannya baru terdeteksi. Tim ahli dari Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) dan Badan Riset Nasional (BRIN) kemudian menamai patahan tersebut dengan sebutan “Sesar Cugenang”, karena lokasinya berada di Desa Cugenang.

“Gempa Cianjur itu sesarnya baru. Muncul di Desa Cugenang. Makanya dinamakan Sesar Cugenang. Kemudian gempabumi di Sumedang. Itu juga baru,” jelas Suharyanto.

Dari keberadaan sesar aktif, baik yang sudah maupun yang belum terpetakan itu, Kepala BNPB mengingatkan bahwa potensi risiko bencana gempabumi tetap menjadi hal yang harus diwaspadai bersama. Terlebih wilayah Kulon Progo masuk dalam wilayah yang memiliki potensi dampak risiko bencana seperti daerah lain. Oleh sebab itu, Kepala BNPB menganggap upaya kesiapsiagaan menjadi hal yang penting untuk selalu ditingkatkan.

“Termasuk Kulon Progo itu sesar yang jelas-jelas aktif dan berpotensi megathurst. Kejadian seperti di Aceh, Padang, Mentawai, Palu hingga Sendai di Jepang itu bisa terjadi di tempat kita ini. Karena itu BNPB memandang sangat penting upaya kesiapsiagaan,” jelas Suharyanto.

Sebagai upaya membentuk masyarakat yang tangguh bencana, BNPB berkolaborasi dengan kementerian/lembaga lain. Sebut saja BMKG, BRIN termasuk unsur TNI dan Polri. Seluruh unsur itu pun memiliki peran penting sesuai tupoksinya masing-masing.

Contoh sederhananya, jika BMKG bertugas memasang alat pendeteksi dan peringatan dini, maka tugas BNPB adalah mempersiapkan masyarakatnya agar lebih sigap dalam membaca peringatan dini sebagai bagian dari peningkatan kapasitas.

Dua hal itu menjadi bagian yang tidak boleh dipisahkan. Tanda-tanda alam maupun informasi peringatan dini bagi sebagian orang masih menjadi pertanyaan. Jika pemahaman masyarakat dan perilaku tidak dalam satu rangkaian, maka hal itu dapat memperbesar risiko bencana.

“BMKG membeli dan menasang alat agar masyarakat bisa tahu duluan. Aceh waktu itu masyarakatnya tidak mengerti ketika setelah terjadi gempabumi lalu air laut surut. Mereka turun ke laut untuk mengambil ikan. Tiba-tiba tsunami datang,” kata Suharyanto.

“Tugas BNPB menyiapkan masyarakatnya. Makanya dibentuklah Destana itu. Di 180 desa itu. Kalau selamat semua ya berarti berhasil. Harus ada parameternya. Makanya saya keliling melihat sampai sejauh mana program itu dapat dilaksanakan dengan baik,” tambah Suharyanto.

Dari seluruh rangkaian program Destana itu, Kepala BNPB menaruh harap semoga hal itu akan terus menjadi pelatihan dan tidak benar-benar dipraktekkan secara nyata. Dengan kata lain, Kepala BNPB berharap bahwa bencana tidak benar-benar terjadi di tengah masyarakat. Kendati demikian, Suharyanto memahami bahwa pun apabila bencana terjadi, semua itu merupakan kehendak Sang Pencipta. Manusia hanya dapat berikhtiar untuk melakukan hal terbaik demi mengurangi risiko bencana.

“Mudah-mudahan dengan kegiatan penyiapan desa ini kita harapkan sampai kapanpun isinya simulasi saja. Jangan sampai terjadi praktek beneran. Mohon itupun jangan dianggap sepele. Karena bencana itu tidak ada yang datangnya tiba-tiba,” kata Suharyanto.

Lebih lanjut, Kepala BNPB mewanti-wanti bahwa bencana adalah kejadian yang berulang. Setiap bencana menurut verifikasi ilmu sains memiliki ‘hari ulang tahunnya’, sehingga kewaspadaan dan kesiapsiagaan masyarakat tetap harus menjadi aset utama demi melahirkan manusia-manusia yang memiliki budaya sadar bencana.

“Siklus bencana itu berulang. Tsunami Aceh itu ternyata beberapa puluh tahun yang lalu itu sudah pernah terjadi. Kita sebagai masyarakat tidak ada salahnya untuk harus tetap waspada,” jelas Suharyanto.

Di hadapan para relawan, kepala desa, tokoh kebencanaan dan pemangku kebijakan yang hadir, Suharyanto memastikan bahwa BNPB akan terus mendampingi pemerintah daerah dalam memperkokoh Destana. Suharyanto tidak ingin apa yang sudah menjadi ketetapan dalam pengurangan risiko bencana ini kemudian luntur.

“Program ini akan terus berlanjut. Dari BNPB akan mendampingi agar program ini tetap dapat dilanjutkan. Jangan sampai program yang sudah dilanjutkan terhenti karena masyarakat menganggap tidak ada tsunami, lalu 30 tahun kedepan masyarakat jadi lupa. Ini bahaya,” tutup Suharyanto.

Exit mobile version