Close Ads Here
Close Ads Here
Close Ads Here
Close Ads Here

Menembus Batas Keterisoliran Menuju UKW PWI Aceh ke-20

UKW PWI Aceh
Menembus Batas Keterisoliran Menuju UKW PWI Aceh ke-20. (Dok: Mhd)

BENERMERIAH(Cakrawalaindonesia.id) — Pagi Kamis, 10 Desember 2025, tidak ada mentari, sinarnya masih terhalang pekatnya embun pagi. Tidak ada burung yang berkicau, pemandangan alam yang biasanya tampak asri entah mengapa begitu menyesakkan.

Bener Meriah pada dasarnya ialah daerah yang bersahabat dengan alam. Serpihan tanah surga, begitu sebutannya. Sebuah wilayah yang seluruh penduduknya bergantung pada hasil alam. Kopi, tanaman palawija hingga pariwisata semua anugerah dari tuhan dalam bentuk alam, menopang ekonomi setiap orang.

Entah mengapa kemudian alam marah, Rabu, 26 November 2025 bencana hidrometereologi menimpa Bener Meriah. Sungai-sungai kecil meluap, tumpah ruah menghancurkan jembatan. Gunung menjatuhkan tanah, menutup akses jalan, bahkan sampai menimpa rumah-rumah.

Banyak korban berjatuhan, semua panik. Listrik mati, jaringan telekomunikasi terputus. Sisanya, semua seperti tergambar dalam banyak media. Beras hilang dari peredaran, gas entah kemana, BBM langka. Bener Meriah benar-benar terisolir.

Tapi, tulisan ini tidak berhenti disitu. Ada sebuah kisah yang mungkin akan terkenang sepanjang hidup. Pengalaman yang tidak bisa di beli dengan materi, pelajaran penting dalam perjalanan hidup yang singkat ini.

Semua berawal dari harap ingin ikut Uji Kompetensi Wartawan (UKW), sebagai orang baru di dunia jurnalistik pengakuan tanda kompeten sebagai pewarta bagiku sangatlah penting.

Bukan sekedar sertifikat untuk gaya-gayaan, tapi simbol keseriusan membidangi profesi ini. Kebetulan saja, rekan-rekan seperjuangan dalam hal ini Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Lhokseumawe menggelar UKW jenjang Muda, Madya dan Utama pada 11-12 Desember 2025.

Masalah kemudian muncul, bagaimana caranya menembus timbunan tanah longsor menuju Lhokseumawe?. Maklum saja, jalan eks KKA Bener Meriah menuju Lhokseumawe masih tertimbun longsor.

Sementara akses lewat Kabupaten Bireuen juga masih terputus total. Satu-satunya jalan ialah dengan menapaki lumpur, berjalan kaki. Tak apa pikirku, bukankah tidak semua jalan kehidupan itu mulus.

Berbekal izin istri dan do’a anak-anak, pagi itu kubulatkan tekad untuk berangkat menuju Lhokseumawe menjemput sertifikat kompetensi. Tanpa persiapan yang matang keberangkatan ini jelas modal nekat.

Tepat jam 07.00 WIB, Kamis, 10 Desember 2025, aku berangkat menggunakan sepeda motor menuju Desa Buntul, Kecamatan Permata. Informasinya, jalan setapak yang dibuat warga sudah dapat dilalui kendaraan roda dua hingga ke sana.

Meski harus memutar dan melewati jembatan kayu seadanya, Desa Buntul menjadi pemberhentian pertamaku sebelum menuju ke Lhokseumawe.

Warga di sana bercerita, jalan menuju Lhokseumawe macet total. Ribuan warga dari Kabupaten Bener Meriah dan Aceh Tengah memadati jalanan berlumpur untuk mencari kebutuhan pokok, beras. Akses masih terbatas dan paling nyaman dilewati dengan berjalan kaki.

Tanpa pikir panjang kuparkirkan kereta, kujinjing tas ransel berisi baju, sepatu dan laptop. Aku bulatkan niat untuk melangkahkan kaki menuju UKW di Lhokseumawe.

Benar saja, ribuan warga memadati jalan ini. Tujuannya hampir sama, mencari kebutuhan pokok. Saling bertukar sapa, berbagi cerita sembari terus melangkahkan kaki menuju Aceh Utara. Lumpur setinggi mata kaki menemani setiap derap langkah kami. Tidak ada yang mengeluh, semua tampak sungguh-sungguh.

Dibutuhkan hampir 2 jam perjalanan dari Desa Buntul ke Desa Seni Antara Kecamatan Permata, Kabupaten Bener Meriah. Lutut mulai tak bersahabat, tapi malu untuk berhenti. Di kanan dan di kiri orang-orang dengan gagah memanggul beban puluhan kilo cabe merah, dibawa untuk dijual ke Lhokseumawe.

Setibanya di Desa Seni Antara mulai tampak pasar dadakan tempat warga saling bertukar barang dagangan. Hasil palawija dari Bener Meriah ditukar dengan kebutuhan pokok dari Aceh Utara. Kuambil sebotol air putih, kuteguk, kurebahkan diri pada rumput di pinggiran jalan.

Di sana banyak warga yang mau memberi tumpangan roda dua. Tanpa pikir panjang, kupilih meneruskan perjalanan dengan roda dua saja, perjalanan masih jauh pikirku.

Tumpangan roda dua ini ternyata hanya sampai kilometer 42, tempat tentara membangun posko tenda. Sisanya harus kembali kulanjutkan dengan berjalan. Beruntung, tak sampai 10 menit ada mobil warga yang lewat dan akhirnya kutumpangi hingga sampai Lhokseumawe, sampai menuju ke lokasi UKW.

Perjuanganku ini mungkin tak seberapa jika dibandingkan dengan perjuangan warga Bener Meriah yang terancam kelaparan karena keterisoliran akibat bencana ini. Tapi biarlah jadi semangat, bahwa kita tetap harus melawan, melangkah menjemput kesempatan.

Jangan sampai bencana ini memadamkan api semangat perjuangan. Yakinlah, keterisoliran dan bencana ini hanyalah cobaan. Sebuah cobaan yang pasti dapat kita lalui dengan perjuangan.(*)

Catatan: Mhd