PAPUA(CIO) – Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Papua melepasliarkan 13 ekor burung endemik Papua, sedangkan 5 ekor lainnya tidak dapat dilepasliarkan karena bukan habitat aslinya. Sementara, 1 ekor burung masih berstatus menjadi barang bukti.
Hal itu diungkapkan Kepala Seksi Perencanaan, Perlindungan, dan Pengawetan pada BBKSDA Papua, Lusiana Dyah Ratnawati, dikutip CIO dari laman resmi BKSDA.
Belasan satwa itu dilepasliarkan di kawasan Cagar Alam Pegunungan Cycloop, Kelurahan Waena, Distrik Heram, Kota Jayapura dan di Kampung Rhepang, hutan adat Isyo Muaif, Kabupaten Jayapura.
Pemilihan dua lokasi untuk pelepasliaran itu karena satwa tersebut adalah habitat asli bagi burung-burung yang dilepasliarkan.
Belasan satwa yang merupakan barang bukti titip rawat dari Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Kepolisian Daerah Papua itu ditempatkan di kandang Buper Waena sejak 23 Mei 2022.
“Jadi, semuanya sudah menjalani masa habituasi untuk memastikan sifat liar mereka supaya sanggup bertahan di alam,” kata Lusiana Dyah Ratnawati, Senin (11/07/2022).
Sebanyak 19 satwa titipan itu yakni 4 ekor cenderawasih kuning kecil (paradisaea minor) jantan dan bentina, 3 ekor kakaktua raja (probosciger aterrimus), 2 ekor kasturi kepala hitam (lorius lory), 2 ekor toowa cemerlang (lophorina magnifica) jantan dan betina, serta 2 ekor cenderawasih mati kawat (seleucidis melanoleucus).
Ditreskrimsus setempat memastikan satwa-satwa yang dititipkan itu dalam kondisi sehat hingga waktu pelepasan.
Meski begitu ada satu ekor burung kakatua koki (cacatua galerita) yang tidak dapat dilepaskan karena masih berstatus sebagai barang bukti tindak kejahatan.
Sedangkan dua burung jenis nuri sayap hitam dan kakatua koki masih mendapatkan penjagaan di kandang transit Buper Waena dipantau secara berkala.
“Satwa-satwa yang dilepasliarkan di dua lokasi itu merupakan satwa yang termasuk dilindungi Undang-undang,” kata Plt. Kepala Bidang Teknis pada BBKSDA Papua, Yulius Palita.
Berdasarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang KSDAHE semua satwa terdaftar di Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor: P.106/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2018.
Selain itu, kata Yulius, satwa-satwa itu juga masuk dalam Appendix II meski ada pengecualian terhadap satu burung jenis kakatua raja Appendix I.
Sementara satu satwa toowa cemerlang tidak terdaftar dalam Appendix Cites.
Maraknya kejahatan perdagangan satwa dilindungi keluar dari Papua membuat kepolisian setempat harus bekerja keras menangkap para pelaku kejahatan.
Direktur Reskrimsus Polda Papua, Komisaris Besar Polisi Sancez Napitulu, S.I.K., mengatakan sebelum bergerak pihaknya mendapatkan laporan dari masyarakat adanya penjualan satwa-satwa dilindungi.
Dalam waktu dekat pihaknya akan melakukan proses hukum tahap pertama ke kejaksaan.
“Apabila nanti dinyatakan lengkap oleh kejaksaan, maka, tersangka akan kami limpahkan ke JPU dan disidang ke pengadilan,” katanya.
Diakui BKSDA pelepasliaran satwa di dua lokasi itu membutuhkan kehati-hatian dan energi yang tidak kecil.
Kepala BKSDA Papua, Abdul Aziz Bakry, menegaskan pelepasliaran satwa ke alam bebas bukan asal-asalan melepaskan dan harus memperhatikan semua komponen secara teliti dan seksama.
Pihaknya mengimbau kepada masyarakat luas untuk tidak melakukan kejahatan ilegal menjual maupun menangkap satwa liar endemik Papua karena dampak yang ditimbulkan dapat berakibat buruk.
“Karena konsekuensi yang ditimbulkannya sangat besar dan tentunya perlu biaya yang tinggi,” kata Aziz, Selasa.
Sebagai kepala BKSDA Papua, Aziz, berharap kerja sama dengan berbagai pihak dapat ditingkatkan sehingga mampu mengantisipasi adanya tindak kejahatan ilegal satwa liar di Papua.(***)