Oleh: B. B. Soegiono, Penulis lepas.
Setelah dari seminggu sebelumnya merencanakan pertemuan, akhirnya pada Minggu, 13 Desember 2020, aku, Kim Al Ghozali AM (Kim Al Ghozali], dan Afrizal Malna mengeksekusi rencana tersebut. Kami bertemu di Coffee Toffee, tempat yang direkomendasi oleh Afrizal. Sedangkan hari dan waktunya; aku dan Kim yang menentukan. Sebab, Afrizal sendiri juga memasrahkan hari dan waktu pertemuan kepada kami berdua. Hal itu dilakukannya mungkin karena dia tidak mau ambil pusing soal hari dan waktu, yang penting urusan tempat telah sesuai dengan kemauannya: Coffee Toffee di Surabaya.
Pada pertemuan itu, Afrizal menunggu sekitar 1 jam di tempat tersebut. Waktu bertemu yang sebelumnya disepakati yaitu pukul 16.00 WIB. Namun, karena hujan turun di luar perkiraan manusia, kami berdua (aku dan Kim) terjebak hujan yang sangat deras dari Sidoarjo. Dan, kami tidak bisa menerobos hujan begitu saja, karena persoalan barang-barang yang kami bawa, seperti gitar, laptop, dan buku-buku pribadi, tanpa persediaan mantel yang memadai. Walhasil, dengan adanya kendala tersebut, kami yang sudah dihubungi oleh Afrizal sejak pukul 15.58 WIB; datang atau tiba ke kediamannya pada pukul 17.02 WIB.
Setelah melakukan basa-basi pertemuan, sambil menikmati lintingan rokok produksi sendiri, pesanan kopi [karena di tempat itu tidak menjual bir], dan sebungkus Jarum Super, kami bertiga melakukan pembicaraan yang cukup cair. Pembicaraan yang kami lakukan tidak hanya berfokus pada hal-hal yang menjadi fokus bidang kami, tetapi apa pun, tanpa terkecuali. Misalnya, tentang persoalan identitas setiap orang, aktivitas kerja, isu Covid-19 yang semakin absurd, kesenian (teks maupun nonteks), dan lain-lain.
Di dalam pertemuan itu, tidak ada yang menjadi pendominasi berbicara, tidak ada yang terfokus berperan sebagai subjek dan tidak ada yang terfokus berperan sebagai objek, tetapi sama-sama mengambil kedua peran tersebut. Artinya, pada bagian tertentu di antara kami bertiga ada yang menjadi pembicara dan ada yang menjadi pendengar, begitu seterusnya secara bergantian.
Ketika Afrizal berbicara mengenai persoalan bahasa sastra [yang diutamakan] di Indonesia, yang cenderung bahasa Indonesia, yang sejatinya lahir dengan konsekuensi yang mematikan bahasa-bahasa ibu setiap kedaerahan. Dia menginginkan sastra Indonesia tidak hanya sastra-sastra yang menggunakan bahasa Indonesia yang sangat formalistis, tetapi bagaimana bahasa daerah meresap ke dalam bahasa Indonesia — yang kemudian menghasilkan bahasa yang cukup khas. Dengan begitu, sastra-sastra Indonesia juga memiliki darah atau semangat yang bangkit dari berbagai berbahasa ibu yang ada di Indonesia.
Lantas ketika dia selesai berbicara, kami (aku dan Kim) memperbincangkan identitas lokal kami yang “retak”. Secara geografis kami bagian dari penduduk Jawa, tetapi secara kultur, kami bagian dari orang Madura. Oleh sebab itu, alternatif yang paling memungkinkan kami tuangkan ke dalam sastra adalah menggunakan bahasa Indonesia. Meskipun sebenarnya, bagi kami bahasa Indonesia juga cukup asing.
Afrizal kemudian merespons ulang: “Jika memang begitu, dari identitas yang retak tersebut harus memunculkan sikap dari pertentangan itu. Sikap yang tidak hanya bergenit-genit pada persoalan lokalitas; tanpa mengurangi kualitas sastra yang dihasilkan”.
Kemudian setelah Afrizal berbicara, aku menyampaikan pernyataan bahwa ketertarikanku tidak hadir pada persoalan identitas (kedaerahan maupun kenegaraan), tetapi pada persoalan pascaidentitas. Semua yang hadir di Indonesia, tidak diidentikkan dengan produk-identitas Indonesia, melainkan bagian dari dunia yang tidak terbatas. Jadi, tidak adalagi istilah penulis Indonesia, yang ada hanya penulis yang tercatat sebagai bagian dari dunia yang tidak terbatas. Bahasa-bahasa yang digunakan juga dikembalikan pada penulisnya, mau menggunakan bahasa Indonesia, menggunakan bahasa Inggris, menggunakan bahasa Jerman, ataupun kemudian dicampurleburkan keseluruhannya. Dan, hal itu juga tidak hanya berfokus pada media bahasa, tetapi juga pada pembahasan yang diangkat: dibentuk oleh percampuran berbagai tempat atau letak.
Selain itu, sesudah Kim menanyakan pembacaan Afrizal mengenai perpuisian Indonesia pada masa kini, dia menjawab “Tidak tahu. Aku sudah tidak mengikuti lagi. Untuk saat ini, kepuasan seniku lebih terpenuhi melalui teater dan seni rupa”. Namun di samping itu, dia menyebut nama Made Wianta sebagai seorang penyair yang bagus, meskipun kalangan sastra Indonesia banyak yang tidak mengakui kepenyairannya.
Hadirnya Made Wianta cukup memberi warna baru bagi perpuisian Indonesia yang stagnan. Jadi, menurut Afrizal, Made Wianta itu orang yang termasuk tidak seperti kebanyakan orang [kalangan sastra] Indonesia yang cenderung bertahan dengan kemapanan yang telah terbentuk, tanpa mau berusaha untuk memperbarui ulang, sehingga orang-orang atau produk-produk sastra Indonesia cenderung tertinggal daripada produk-produk luar, Eropa dan sebagainya.
Afrizal juga membicarakan kepribadian seksual-menyimpang (homoseksual, biseksual, dll) orang Indonesia yang cenderung selalu ditutupi-tutupi, tidak berani terbuka, karena ketika terbuka seseorang itu sama saja seperti terjun bebas ke jurang. Sebab, di Indonesia, masyarakat yang cenderung memegang teguh prinsip-prinsip moralis, mudah mengecam dan mendiskriminasi orang-orang yang memiliki kepribadian seksual-menyimpang. Hal tersebut yang menjadi alasan utama seseorang tidak berani terbuka membeberkan kepribadian seksual-menyimpangnya. Bahkan, banyak juga orang-orang yang sejatinya memiliki kepribadian seksual-menyimpang menutupi kepribadian seksual tersebut dengan berpura-pura menikah, demi menghindari sanksi sosial dari masyarakat.
Hal ini juga dipertegas oleh Kim, bahwa di Indonesia memang sangat banyak kasus-kasus seperti itu, dan hal tersebut sangat memprihatinkan. Dan, biasanya, orang-orang seperti itu membuka atau menjadi dirinya yang asli di dalam bercinta dengan pasangan yang sama-sama memiliki kepribadian seksual-menyimpang hanya di tempat-tempat tertentu yang telah dibeli maupun disewa, seperti indekos khusus, hotel, ataupun apartemen pribadi.
Di dalam pertemuan itu, memang kami bertiga banyak membicarakan persoalan; yang dipantik berdasarkan daya ingat. Di luar yang sudah dibahas [disebut] di atas, dunia kerja, hidup tanpa pernikahan, penutupan tempat wanita penghibur [yang berpotensi tidak terkontrolnya penyebaran penyakit], dan orang Indonesia yang sangat suka membuat anak; tanpa terlebih dahulu memikirkan nasib anaknya kelak; juga tidak luput dibicarakan; tanpa rasa sungkan satu sama lain.
Afrizal juga membicarakan kepribadiannya sejak kecil yang tidak suka menyetir sepeda motor maupun mobil, sehingga untuk bepergian ke tempat-tempat tertentu, kalau tidak ada yang menjemput, maka dia harus menggunakan jasa kendaraan umum.
Dan, setelah berbagai persoalan kami bertiga bicarakan di kursi dan meja Toffe Caffe di Surabaya, pada pukul 20.30 WIB semua pembicaraan kami berhenti. Kim kemudian mengantar Afrizal ke tempat indekosnya, dan setelah kembali ke Coffee Toffee untuk menjemputku dia memberi kabar bahwa flat cap atau topi datar kesayangan miliknya telah dinyatakan hilang.
Surabaya, 16 Desember 2020
(***)
B. B. Soegiono, lahir di Tempuran, Bantaran, Probolinggo. Kini merantau di Surabaya. Seorang pekerja teks: penyair dan prosais.
Untuk menghubunginya bisa melalui nomor 082301299466.
Tulisan-tulisannya pernah dimuat di sejumlah media di Indonesia, cetak maupun elektronik, antara lain: Koran Tempo, Harian Rakyat Sultra, Denpasar Post, Malang Post, Kurung Buka, Galeri Buku Jakarta, dan lain-lain.
Buku yang telah terbit: Saga Mentari (2018) dan Matahari Tenggelam di Negeri Lain (2020).