CIO—Kerajaan Mataram Islam tidak bisa dilepaskan dari keberadaan cagar budaya Kota Gede di perbatasan Kota Yogya dan Kabupaten Bantul.
Mataram Islam yang tradisinya masih dijaga orang Jawa menyulitkan budaya barat untuk memberangus budaya Jawa.
Empat generasi Mataram, yakni Yogyakarta, Surakarta, Pakualaman dan Mangkunegaran, kini bersatu setelah terbelah oleh adu-domba Belanda.
Kota Gede sebagai cikal-bakal empat generasi Mataram Islam memiliki sejarah panjang terhadap lahirnya penguasa-penguasa di Tanah Jawa.
Menurut Babad Tanah Jawi, Alas Mentaok merupakan pemberian Sultan Pajang untuk Sutawijaya karena telah membunuh musuh Jaka Tingkir.
Konon, Alas Mentaok (yang saat ini menjadi wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta) dahulu merupakan istana iblis. Tidak satu pun orang bernyali masuk ke wilayah hutan belantara liar yang sangat luas.
Hanya Sutawijaya yang mampu menaklukkan penghuni alas mentaok mulai dari Gunung Merapi hingga pantai Selatan.
Tetapi, menurut cerita masyarakat setempat ada seseorang yang terlebih dahulu menempati Alas Mentaok.
Orang yang pertama berada di Alas Mentaok bernama Pangeran Jayaprana atau lebih dikenal dengan nama Ki Jayaprana.
Semula Ki Jayaprana menolak berpindah tempat karena ia merasa lebih dahulu menempati Alas Mentaok.
Singkat cerita, Ki Jayaprana akhirnya bersedia untuk pindah.
Cara pindahnya pun tidak harus digendong oleh Ki Ageng Pemanahan.
Setelah permintaannya dikabulkan, Ki Ageng Pemanahan hanya mampu menggendong Ki Jayaprana hingga di suatu tempat.
Tempat itu kini menjadi nama salah satu kampung tertua di Kota Gede yang diberi nama kampung Jayapranan.
Dalam Babad Tanah Jawi diceritakan akhirnya Sutawijaya sebagai Panembahan Senapati menjadi penguasa Tanah Jawa yang berkerajaan di Kota Gede.
Sebagai kota tua, Kota Gede menyimpan berbagai artefak di masa kejayaan pemerintahan Penembahan Senapati.
Memasuki Kota Gede banyak sekali ditemui para perajin perak hingga di gang-gang sempit padat pemukiman di antara bangunan-bangunan tua.
Suara pukulan palu bersahutan dengan ritme yang bertajuk menjadi tanda telah memasuki kampung di Kota Gede.
Orang berkaca mata dengan patri di tangan dihiasi bunga-bunga api menjadi pemandangan aktivitas setiap hari.
Seorang wisatawan mancanegara terkagum-kagum melihat proses pembuatan perhiasan perak.
Selama hidupnya belum pernah menemui orang membuat perak.
“Saya sangat kagum melihat pembuatan perak yang sulit dikerjakan oleh mesin,” kata Claes mengaku asal Swedia.
Sebagian penduduk Kota Gede dari empat generasi Mataram Islam menyebar dan melahirkan trah-trah baru.
Kota Gede merupakan salah satu dari 14 kecamatan di Yogyakarta yang memiliki 3 kelurahan, yaitu Prenggan, Purbayan dan Rejowinangun, dikelilingi oleh Kapanewon Banguntapan dan Kota Yogya.
Sungai Gajah Wong yang membelah Kota Gede mengalir hingga ke laut Selatan.
Kapanewon yang memiliki luas 3,07 km ini berada di ketinggian 113 mdpl masuk kategori dataran rendah.
Hingga tahun 2021 jumlah penduduk Kota Gede di tiga kelurahan sebanyak 34.814 jiwa.
Dari Kota Yogya, jika ditempuh dengan sepeda normalnya membutuhkan waktu 30 menit.
Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) telah merencanakan pembangunan pedestrian di Kota Gede mengacu pedestrian Kota Baru.
Wistawan yang datang ke Yogya dapat berjalan kaki dengan nyaman dan melihat pemandangan menarik di waktu malam hari. (*)