Close Ads Here
Close Ads Here
Close Ads Here
Close Ads Here

KOMUA: Kumpulan Kisah Masa Kecil (Seakan Novel-Lakon 6)

Oleh: Agus Sutawijaya.

Lakon 6
Puaso Tibo

Siang ini cuaca lumayan panas. Matahari tersenyum jenaka sejak siang menjelang. Awan berarak, berjalan bergandengan mengikuti arah hembusan angin. Bersenda gurau dengan ceria. Sesekali gumpalan halusnya menghampiri matahari, sekedar bertegur sapa dan menyampaikan jam berapa nanti ia akan turun ke bumi dalam bentuk titik hujan.

Serombongan burung Jalak –acridotheres javanicus–, kami biasa menyebutnya Ungge Kobau, nampak asik bercengkerama di atas perut seekor induk Kerbau yang tengah asik berkubang. Kerbau memang tak tahan cuaca panas, ia akan memilih untuk berendam di sungai atau bergolek dalam kubangan lumpur dan membiarkan seluruh tubuhnya berbalut lumpur pekat nan hitam.

Sementara buat kami, anak-anak kampung, cuaca tak terlalu berpengaruh banyak. Seperti siang ini, meski udara terasa sangat panas dan lembab, kami tetap bersemangat membantu orang tua kami “Manggelek Tobu” di samping rumah Udo Nazar.

Manggelek Tobu adalah kegiatan menggiling batang tebu untuk dijadikan “Nisan Tobu”, atau gula tebu cair. Alat yang digunakan adalah sebuah batang kelapa panjang yang didorong dan digelindingkan maju mundur oleh tenaga manusia. Sebenarnya di kampung kami ada gelek mesin, bantuan dari pemerintah, tapi kami sejak dulu lebih menyukai mengolah tebu secara sederhana dengan “Gelek Tobu”.

Biasanya musim manggelek diadakan di Bulan Syakban pada sistem kalender Hijriyah, atau di kampung kami disebut Bulan Pulotan. Tebu yang diolah berasal dari kebun kami sendiri. Sengaja diolah di Bulan Syakban, sebagai persiapan untuk membuat penganan atau pebukaan di bulan Ramadhan nanti. Sebab, biasanya saat berbuka Mak kami selalu menyediakan kolak atau bubur sebagai takjil berbuka puasa.

Air tebu hasil gilingan tadi kemudian disaring dan dimasak dalam sebuah kanca, yaitu kuali besi berukuran besar. Dimasak terus sampai mengental di atas tungku berbahan bakar ampas tebu hasil gilingan tadi. Sebagai selingan, biasanya sambil memasak gula, akan masukkan beberapa potong singkong yang setelah masak kami nikmati bersama dengan alas daun pisang.

Saat manggelek adalah saat yang sangat menyenangkan. Semua dikerjakan secara bergotong royong. Bayangkan saja, untuk menggelindingkan pohon kelapanya saja dibutuhkan minimal 12 orang. Berdiri saling berhadapan sambil tangannya mendorong batang kelapa, maju mundur, terus sampai semua tebu selesai digiling. Saat tersebut kadang kami bernyanyi, kadang berpantun dan bersenda gurau. Tak jarang ketika giliran kita didorong mundur, kaki kita tersandung ampas tebu atau kaki kawan yang lain, dan jatuh terguling, dan semua orang akan tertawa.

Biasanya yang mendorong batang kelapa itu dilakukan oleh anak-anak muda. Selain seru, kegiatan ini juga kadang menjadi sebab berjodohnya kakak-kakak kami. Seperti siang itu, kami melihat bagaimana Wuo Tunus mencuri-curi pandang pada kak Bada. Ia tampak semangat sekali mendorong batang kelapa itu. Kami semua tahu kalau Wuo Tunus suka sama kak Bada, tapi di kampung tak dikenal istilah pacaran, tabu. Maka, ajang manggelek tobu tadi bisa jadi menjadi saat paling romantis buat mereka. Kami semua tertawa melihat bagaimana Wuo Tunus mempertontonkan “kejantanannya” di depan Kak Bada. Saat orang lain istirahat, ia tampak bersemangat mendorong gelek, maju mundur. Sesekali ketika kembali mendorong bersama, Wuo Tunus nampak mencuri kesempatan untuk menyentuh tangan kak Bada. Dan muka memerah ketika kami mengejeknya.

Atau momen saat Tek Nuriati tampak malu-malu ketika berbicara dengan Udo Karoni sambil membersihkan batang tebu yang akan digiling. Banyak moment sederhana namun romantis yang kami saksikan saat acara manggelek, dan pada tahun-tahun berikutnya, kami menyaksikan mereka duduk di pelaminan sebagai pasangan suami istri.

Menjelang Ramadhan tiba, tidak hanya tradisi manggelek saja yang menjadi khas di kampung kami. Sehari sebelum puasa, atau kami menyebutnya potang balimau juga sangat menarik. Satu atau dua hari menjelang Ramadhan, biasanya di rumah-rumah kami menjadi sedikit sibuk. Mak kami masak makanan lebih istimewa dari hari biasanya.

Beberapa ekor ayam peliharaan kami ditangkap dan dibantai. Ini sangat istimewa buat kami, karena asal kalian tahu, kami jarang sekali makan daging ayam. Kalau tidak kami sedang sakit dan tak mau makan, atau sedang musim ayam sakit, biasanya di situlah kami bisa makan daging ayam. Tapi menjelang Ramadhan, nyaris semua rumah memotong ayam. Kalau yang dibantai “Apak Ayam” yaitu ayam jantan besar, maka biasanya Mak akan mengolahnya menjadi rendang ayam yang begitu nikmat. Agar hasilnya jadi banyak, biasanya Mak akan mencampur rendang ayam tadi degan singkong atau kentang kecil-kecil, atau diberi tambaham daun Tapak Leman. Pokoknya spesial deh…

Selain lauk, Mak kami juga membuat penganan lain, seperti Lemang, Sarikaya, Lopek, Oluo dan Kalamai. Semua dibuat dalam jumlah yang lumayan banyak. Sorenya, kami akan pergi ke rumah Nenek, Mak kami pai Manjolang Mintuo. Makanan dibawa di dalam rantang dan kami bersama pergi ke rumah Nenek, untuk meminta maaf dan meminta restu menjelang masuk puasa. Selain itu, kami juga akan pergi ke rumah “Mamak”, paman dari pihak ibu. Semua seperti itu di kampung kami. Intinya, yang muda mendatangi yang tua, bermaaf-maafan.

Sebagai orang pendatang di kampung ini, Mak juga mengikuti tradisi ini. Kami sama-sama berkunjung ke rumah Niok Riama, nenek angkat kami di sini.

Selain menyiapkan hidangan istimewa, setiap rumah juga menyiapkan ramuan untuk mandi sore menjelang puasa. Mandi Balimau kami menyebutnya. Ramuan yang terdiri dari beragam kembang, akar pohon, dedaunan dan jeruk purut ini di kampung kami disebut Kasai. Nanti ramuan itu direbus, dan air rebusannya dimasukan le dalam bejana air mandi kami. Aromanya harum sekali. Selain sebagai simbol pembersihan diri, Kasai juga menjadi pengharum alami.

Malamnya, kami tak lagi mengaji di Sughau Ujuong, seluruh warga berjamaah di masjid. Di awal Ramadhan biasanya masjid melimpah. Kami, anak-anak terpaksa harus mengalah dan membuat shap sendiri di teras masjid. Tapi sedikitpun tak mengurangi kebahagiaan kami menyambut datangnya bulan suci.

“Barang siapa yang bergembira akan hadirnya bulan Ramadhan, maka jasadnya tidak akan tersentuh sedikit pun oleh api neraka” Demikian hadist Nabi Saw yang selalu disampaikan oleh Tuok Muin pada kami saat menutup pengajian kami minggu lalu.

Semoga kita semua diberi kesempatan oleh Allah Swt untuk bisa melalui Ramadhan ini dengan sempurna, aamiin.

(***)