Close Ads Here
Close Ads Here
Close Ads Here
Close Ads Here

KOMUA: Kumpulan Kisah Masa Kecil (Seakan Novel-Lakon 5)

Oleh: Agus Sutawijaya.

Lakon 5
Tuok (Onga) Muin

Kawan, seperti yang pernah aku kisahkan, setiap malam selepas maghrib kami anak-anak Dusun Pulau Tongah Tanjung Rambutan selalu mengaji di sebuah Surau di ujung kampung, Sughau Ujuong, kami menyebutnya. Tak ada yang spesial dari bangunan surau ini yang bisa aku ceritakan dan aku banggakan. Hanya bangunan tua semi permanen. Dindingnya terbuat dari anyaman bambu yang diplester dengan lapisan semen, tanpa polesan cat sama sekali.

Di dalam tak ada perabotan, hanya beberapa meja panjang kecil seukuran selembar papan tempat kami anak-anak kampung berdesakan menanti giliran untuk mengaji. Pada sebuah kayu melintang di langit-langit yang tak dipasangi plafon tergantung sebuah lampu strongkeng, atau petromax, satu-satunya sumber penerangan di surau ini. Entah mana yang lebih tua usia antara surau dan lampu itu, namun aku yakin, mereka telah merekam beberapa generasi yang melalui malam di surau ini menuntut ilmu agama pada seorang lelaki bertubuh semeter kotor itu.

Di sudut dekat bagian mihrab, ada sebuah kotak kayu tempat puluhan lembar mushab Al quran tanpa sampul tersusun berdesakan. Sebenarnya itu sebuah lemari kayu, namun kondisinya yang sangat mengenaskan membuatku tak tega untuk menyebutnya lemari, cukup koyak kayu saja. Di salah satu sisinya menempel sebuah kertas usang seukuran poster bertulis “Jadwal Shalat Sepanjang Masa”.

Pasa surau sederhana inilah kami anak-anak kampung yang degil ini mendapat pencerahan dan menerima keberkahan untuk dibukakan pintu hidayah, sehingga menjadi pedoman hidup sampai saat ini. Bukan tentang keadaan suraunya, tapi tentang sosok lelaki tua yang menjadi panutan di dalamnya. Dialah Tuok Muin.

Beliau adalah seorang yang sangat berjasa dalam membentuk dan membentengi akhlak kami pada masa-masa awal pertumbuhan kami. Sosok dengan tinggi tak lebih dari satu meter itu mempunyai akhlak yang jauh lebih tinggi dari badannya. Ya, Tuok Muin memang pendek, kalau kalian tahu pelawak Udin Semekot, maka Tuok Muin kurasa tak berbeda jauh tingginya.

Seperti juga orang kampung lainnya, Tuok Muin juga hidup dari usahanya menderes atau memotong getah di hutan. Untuk pergi ke kebun, sehari-hari Tuok Muin mengendarai Kareta Unto, sepeda onthel dengan batang melengkung di tengah. Dahulu kami selalu tertawa terpingkal-pingkal menyaksikan bagaimana Tuok Muin kesusahan mengayuh sepedanya. Ukuran tubuhnya yang mungil tak memungkinkan kakinya untuk menjejak pedal sepeda dengan sempurna. Ia mengayuh sepeda dengan ujung telapak kakinya yang sesekali menyentuh pedal sepeda. Demikian selalu, dan pemandangan itu selalu saja membuat kami tertawa terpingkal-pingkal, dan beliau hanya tersenyum melihat tingkah kami.

Sepeda itu juga tak jarang menjadi objek kenakalan kami. Tak jarang kami para begundal kampung tak tahu diuntung ini mengerjai lelaki kecil itu dengan mencabut pentil angin ban sepedanya atau mengikat rantai sepedanya ke tiang rumah panggung beliau. Dan lagi-lagi beliau hanya tersenyum dengan tingkah kami. Sekali ia pernah marah pada kami semua, ketika kami bergelut saat shalat jemaah Isya. Entah siapa yang memulai, kami semua saling dorong dan akhirnya mendorong Tuok Muin yang menjadi imam hingga ia terjengkang. Tak ayal, setelah shalat Isya, kami semua murid laki-laki mendapat jatah “lunsin”, yaitu cambukan 12 kali ke telapak tangan dengan rotan yang selalu ada di tangan Tuok Muin saat mengajar kami mengaji.

Selain tunak mengajari kami mengaji, Tuok Muin juga punya kebiasaan yang sangat mulia. Pada “Kereta Unto” nya selalu terikat sebuah cangkul kecil bergagang pendek, tentu saja menyesuaikan posturnya yang minimalis. Setiap kali menemukan jalan berlubang atau tergenang, maka beliau akan menyempatkan untuk sekedar mengalirkan air atau sedikit memberi tanah timbun sehingga jalanan kembali bisa dilalui. Dan aku melihat kebiasaan beliau sepanjang hidup. Pernah ketika kesadaranku sedang insyaf aku bertanya kepada beliau tentang apa yang dilakukannya. Beliau hanya menjawab, itulah amal jariyah yang kelak akan menemaninya di kubur.

Seingatku, Tuok Muin juga memiliki istri yang tingginya tak jauh berbeda. Aku lupa nama istri beliau. Hampir semua anak-anak beliau jago mengaji dan faham agama, apa lagi yang perempuan. Di Sughau Ujuong kami diajar tidak hanya oleh Tuok Muin tetapi juga oleh anak-anak dan istri beliau. Ada Mak Onga Asna, putri kedua beliau dan juga Tek Asma, kalau tak salah anak ke empat Tuok Muin.

Kini, beliau tak lagi ada, aku beruntung pernah menjadi salah satu murid beliau. Aku beruntung telapak tangan ini dulu pernah mendapat “lunsin” dari beliau. Sehingga saat ini aku bisa mengaji, bisa shalat dan tahu tentang agama. Semoga Allah melapangkan kubur beliau, mengampuni dosa heliau dan menempatkan di tempat terbaik di sisinya, aamiin.

(***)