JAKARTA(Cakrawalaindonesia.id) – Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Ketenagakerjaaan bersama Uni Eropa, ILO, dan UNODC meluncurkan program Protect Indonesia, di Lapangan Banteng, Jakarta Pusat, Selasa (14/5/2024).
Peluncuran program Protect Indonesia menjadi momen penting dalam memberikan informasi dan akses yang luas bagi Pekerja Migran Indonesia terkait migrasi aman, pelindungan hak-hak ketenagakerjaan, dan pencegahan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO).
“Saya apresiasi komitmen dari Uni Eropa, ILO dan UNODC untuk terus mendukung pemerintah melindungi Pekerja Migran Indonesia dan anggota keluarganya melalui program Protect Indonesia,” ucap Menaker Ida Fauziyah dalam sambutannya yang diwakili oleh Direktur Bina Penempatan Pekerja Migran Indonesia (P3MI) Kemnaker, Rendra Setiawan.
Sebagai upaya menjawab kebutuhan akan layanan terpadu dan terkoordinasi yang responsif gender sejak dari desa, lanjut Ida Fauziyah, maka sejak tahun 2019, pihaknya dan ILO telah bekerja sama mendirikan Pusat Informasi dan Layanan Terpadu Satu Atap yang Responsif Gender (PILTSA-MRC) di empat Kabupaten percontohan meliputi, Cirebon, Tulungagung, Blitar, dan Lampung Timur.
Sebanyak 5.268 pekerja migran, yang 90 persennya merupakan pekerja perempuan telah dilayani oleh PILTSA-MRC ini, dan sebanyak 138 pekerja migran telah mendapatkan layanan informasi ketenagakerjaan, psikososial, kesehatan, bantuan sosial, penanganan kasus, bantuan hukum, serta berbagai pelatihan perencanaan pra migrasi, manejemen keuangan dan hak-hak ketenagakerjaan yang diberikan kepada calon dan purna pekerja migran perempuan, keluarganya juga masyarakat.
“Ini wujud kepedulian Kemnaker untuk mempromosikan dan mengimplementasikan kebijakan dan manajemen migrasi kerja yang responsif gender,” ucapnya.
Sementara Direktur ILO untuk Indonesia dan Timor Leste Simrin Singh menyatakan, migrasi kerja mampu mendorong pembangunan ekonomi dan sosial di negara asal dan tujuan dari pekerja migran.
Migrasi kerja, lanjut Simrin juga memberikan manfaat yang besar bagi pekerja migran, komunitas dan pemberi kerja.
“Kebijakan dan pendekatan tata kelola migrasi kerja harus lebih inklusif dan sejalan dengan standar ketenagakerjaan internasional,” ujar Simrin.