JAKARTA(Cakrawalaindonesia.id) – Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif/Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf/Baparekraf) bekerja sama dengan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) melakukan kajian skema pembiayaan yang tepat bagi peserta program Indonesia Spice up The World (ISUTW).
Dalam “The Weekly Brief With Sandi Uno” di Gedung Sapta Pesona, Jakarta Pusat, Senin (13/11/2023), Menparekraf/Kabaparekraf Sandiaga Salahuddin Uno mengatakan Indonesia Spice Up the World adalah program unggulan Kemenparekraf yang bertujuan untuk mempromosikan kuliner Indonesia. Selain juga untuk meningkatkan jumlah ekspor rempah asal Indonesia ke seluruh dunia dengan target nilai ekspor sebesar 2 miliar dolar AS. Dalam upaya mencapai target tersebut, diperlukan kajian skema pembiayaan dan apa saja yang dibutuhkan para peserta berdasarkan data dan bukti di lapangan.
Oleh karena itu, Deputi Bidang Kebijakan Strategis Kemenparekraf/Baparekraf berkolaborasi dengan BRIN untuk mengkaji dan menentukan skema pembiayaan yang tepat untuk diterapkan dalam program ini. “Ini ada beberapa aktivasi tapi kita perlu melandasi program ISUTW agar berbasis data dan evidence,” kata Sandiaga.
Deputi Bidang Kebijakan Strategis Kemenparekraf/Baparekraf Dessy Ruhati menambahkan berdasarkan data-data yang telah diperoleh, sebaran restoran Indonesia terbanyak adalah di Belanda yang berjumlah 295 restoran. Selain Belanda, restoran-restoran Indonesia ini juga tersebar di Australia sebanyak 162 restoran, 89 restoran di Amerika Serikat, 70 restoran di Malaysia, dan 66 restoran di Jepang.
“Berdasarkan kajian yang kami lakukan bersama BRIN bahwa usaha restoran yang ada di luar negeri ini masing-masing mempunyai tipologi yang khas, yaitu pemilik restoran juga berperan sebagai pengelola restoran. Kemudian usahanya berupa restoran itu sendiri, ada yang pop-up, all you can eat, food court, dan cloud kitchen,” kata Dessy.
Dessy juga menjabarkan fakta lain yang ditemukan oleh timnya di lapangan yakni para pengelola restoran ini cukup kesulitan memperoleh rempah-rempah asli Indonesia di negara masing-masing. Sehingga, mereka terpaksa mengimpor sendiri rempah-rempah tersebut dari Indonesia dan membeli di toko-toko lokal yang tak jarang harganya mahal dan langka.
“Menggunakan rempah Indonesia pasti akan membuat cita rasa Indonesia terjaga. Ini menjadi suatu peluang bagi program ISUTW dalam meningkatkan ekspor rempah-rempah ke negara yang memiliki restoran dengan jumlah banyak,” kata Dessy.
Mengenai skema pembiayaan, Dessy menjelaskan 43 persen restoran Indonesia di luar negeri memiliki omzet rata-rata di bawah Rp300 juta per tahun. Sebanyak 29 persen, omzetnya Rp300 juta-Rp2,5 miliar, 19 persen omzetnya Rp2,5 miliar-Rp50 miliar, dan 9 persen omzetnya lebih dari Rp50 miliar.
Para pelaku usaha restoran itu membutuhkan pembiayaan yang beragam tergantung pada skala usaha mereka atau berkisar Rp500 juta-Rp5 miliar yang nantinya akan digunakan untuk membuka restoran baru dan untuk memperluas yang sudah ada.
“Tenor pembiayaan yang dikehendaki oleh masing-masing pemilik restoran yang juga merupakan pengelola restoran juga beragam namun sebagian besar menginginkan tenor satu sampai lima tahun dengan bunga sebesar satu sampai tiga persen,” katanya.
Oleh karena itu, kata Dessy, pihaknya akan berkoordinasi dengan Deputi Bidang Pemasaran Kemenparekraf/Baparekraf, dan Deputi Bidang Industri dan Investasi Kemenparekraf/Baparekraf untuk mengembangkan pasar produk-produk herbal asli Indonesia ke seluruh dunia, khususnya ke Eropa. Hal ini juga dalam rangka pengembangan industri restoran Indonesia yang ada di luar negeri. “Sinergi ini juga diharapkan mampu memberikan bentuk skema pembiayaan yang paling tepat di dalam pengembangan restoran yang kita harapkan di 2024 bisa mencapai 4.000 restoran Indonesia di seluruh dunia,” tuturnya.
Sementara itu, Kepala Pusat Ekonomi Makro dan Keuangan BRIN, Zamroni Salim mengatakan dari hasil kajian yang telah dilakukan, perlu dibuat semacam hub bumbu di luar negeri baik diprakarsai oleh BUMN maupun diserahkan ke swasta, dan diperlukan kajian lebih lanjut terkait pembuatan Hub ini. Selain itu yang tidak kalah penting juga Penugasan Khusus Ekspor (PKE) yang sangat dibutuhkan oleh eksportir maupun distributor rempah Indonesia untuk bisa ke luar negeri. Menurutnya, PKE merupakan skema yang tepat untuk memudahkan dan memperluas ekspor rempah Indonesia ke seluruh dunia.
“PKE melalui LPEI (lembaga pembiayaan ekspor indonesia) ini sangat dibutuhkan oleh dunia usaha khususnya eksportir, distributor rempah, termasuk juga restoran di dunia,” ucap Zamroni.