Close Ads Here
Close Ads Here
Close Ads Here
Close Ads Here
NEWS  

Hadirkan Tiga Pembicara, Untid Gelar Sesrawungan Depan Panggung Kosong

Pembicara dari Nahdlatul Muhammadiyyin Yogyakarta, Tripan disapa akrab Lek Trip, mengejawantahkan kata srawung dan diskusi terbuka ‘Sesrawungan’ yang digelar UKM Universitas Tidar Magelang didukung Maneges Qudroh Muntilan, Selasa (02/08/2022) malam. (Dok: Adham/CIO)

MAGELANG(CIO) – UKM Universitas Tidar (Untid) Magelang didukung Maneges Qudroh menggelar ‘Sesrawungan’ di Pendapa Mantyasih, Meteseh, Kelurahan Cacaban, Kecamatan Magelang Utara, Kota Magelang, Jawa Tengah, Selasa (02/08/2022) malam.

Sinau bareng yang menghadirkan tiga pembicara itu membedah tema ‘Budaya Menyongsong Kreativitas Anak Bangsa’ melalui diskusi santai melibatkan warga setempat.

“Memaknai budaya bukan hanya sebatas pertunjukan yang bersifat instan,” kata salah satu pembicara ‘Sesrawungan’, Bambang Tri Pandulu Widayat akrab disapa Lek Trip.

Kata Tripan, budaya tidak bisa diartikan secara sempit karena setiap kebiasaan yang dilakukan manusia adalah budaya, misalnya kebiasaan seorang anak mencium tangan orang tuanya setiap hendak bepergian.

Contoh lain, saling mengucapkan salam ketika bertamu di rumah orang lain.

“Jadi, jangan salah kaprah memaknai kata budaya,” jelas aktivis maiyah Nahdlatul Muhammadiyyin (NM) Yogyakarta.

Menanggapi ‘Sesrawungan’, Tripan menyebut ada lima hal ilmu Srawung yakni srawung, tepung, dunung, tetulung dan ngadiluhung.

“Tetapi jangan lupa, bekal pokok dari 5 tahapan ilmu srawung adalah “suwung”, menanggalkan keakuan diri, egosentrisme individu, sehingga yang terus ada dan tumbuh dalam pikiran kita adalah nalar publik yaitu kedewasaan berpikir bagi kebaikan untuk semua orang.” paparnya.

Meskipun forum diskusi tidak egaliter, Tripan, menyatakan dukungannya terhadap kegiatan yang digelar mahasiswa Untid tersebut.

Pembicara Ericka Darmawan yang meminta disapa Cak Erick menyampaikan perbedaan selera antargenerasi yang tidak bisa disamakan.

“Ketika bermedia sosial, misalnya. Kita ini adalah generasi yang masih menggunakan fesbuk, berbeda dengan generasi milenial yang cenderung menggunakan Tiktok,” urainya.

Salah satu pengajar Universitas Tidar Magelang itu membandingkan jumlah pemuda hari ini dan di masa akan datang.

Berdasarkan bonus demografi, kata Cak Erick, tahun 2045 akan didominasi oleh pemuda sehingga menjawab tantangan yang tidak mungkin dilakukan oleh generasi sebelumnya.

“Ke depan akan terjawab oleh penduduk Indonesia yang rata-rata adalah pemuda,” katanya.

Secara pribadi, Erick mendukung ‘Sesrawungan’ yang digelar mahasiswa Untid serangkaian dari kegiatan KKN.

Berbeda dengan Danu Wiratmoko yang mengungkapkan aktivitas kesenian di Magelang akan terlaksana ketika ada dana kucuran dari pemerintah.

“Kami prihatin penyelenggaraan kegiatan seni dan budaya di Magelang harus menunggu dana pemerintah,” ucap salah satu pembicara ‘Sesrawungan’.

Persoalan ekonomi dari para pelaku seni di Magelang menjadi salah satu alasan mengapa geliat seniman di Kota Tidar jalan di tempat.

Danu berharap diskusi ‘Sesrawungan’ sebagai salah satu giat seni dan budaya di Magelang dapat terus terlaksana.

Seni dan budaya yang hanya sebatas pertunjukkan menjadi salah satu cara untuk mengenalkan budaya itu sendiri.

Namun, pertunjukkan seni dan budaya dalam kemasan diskusi atau sarasehan yang egaliter masih belum diminati oleh warga Magelang.

Hal itu dipertanyakan seorang warga Muntilan yang berprofesi sebagai ojek online.

“Saya berharap acara menjadi diskusi yang seru, makanya saya datang ke ‘Sesrawungan’ ini,” seloroh Pegiat budaya Maneges Qudro Muntilan Virdian Rahmuadi.

Dirinya sedikit kecewa saat acara berlangsung banyak yang hadir tetapi tidak memadati tempat duduk di bagian depan.

Meski dipastikan yang datang adalah mahasiswa, namun, mereka berada di belakang dan tidak memberikan contoh kepada masyarakat untuk duduk di depan.

Sesrawungan yang seharusnya dimulai pukul 20.00 WIB molor dan berakhir sekira pukul 00.00 WIB.(***)