(CIO) — Pagi ini saya bergegas berangkat kulakan barang dagangan. Karena mau ke bagian pengecekan.
Sebelumnya memang saya sudah WhatsApp (WA) kasir di agen distributor. Untuk meminta waktu ada kesalahan melayani barang. Ada yang keliru.
Sampai di tempat, saya memarkirkan motor. Saya bilang ke petugas parkir, “pak, punten titip motor ya, saya mau ke kasir,”
“Iya, mas Sholeh,” sahut bapak petugas parkir sembari mengacungkan jempol.
Di kasir sudah banyak orang antri buat transaksi. Jadi harus nunggu giliran.
Dari samping ada teman mencolek saya, dan berkata, “Leh, baru datang tah? Tumben pagi-pagi. Sudah pesan barang belum?”
“Iya, sudah saya WA karyawan di sini. Cuma ini ada perlu sama teman-teman yang ngelayani pesanan belanjaan saya kemarin sore,” jawab saya.
“Emang kenapa?” tanya dia.
“Ini, kemarin itu ada beberapa barang yang keliru dilayaninnya. Maka hari ini saya mau menukarnya. Barang yang dimasukin ke kardus belanjaan saya ada yang tidak sesuai dengan permintaan pesanan saya. Dinotanya sih tulisan nama barangnya benar sesuai dengan apa yang saya pesan. Cuma pelayan di situ melayaninnya beda,” jelas saya sambil memperlihatkan barang ditangan, berikut notanya.
“Sering tah kejadian kayak gini?” dia langsung menimpali.
“Iya, pernah ke tukar kardus belanjaan saya sama orang lain hehehe,”
Ia kemudian mengajak saya keluar, di depan teras, “Saya juga pernah kejadian kayak ente, leh. Tapi Saya nggak balikin. Kan salah mereka sendiri. Ngapain kan dibalikin?,” ucapnya tanpa rasa bersalah.
“Waduuhh, saya nggak berani kayak gitu. Ngapain? Enggak ada manfaatnya. Kalau toh dapat barang yang nilainya lebih tinggi. Itu bukan sesuatu yang paling berharga kok dan bukan hak kita juga,” kata saya.
“Ya enggaklah, kan salah mereka,” sergahnya.
“Itu sih sama saja kita kalah sama duit Rp3.000 atau Rp5.000, mau-maunya kita turun level. Duit itu levelnya di bawah kita, bro,” ujar saya.
“Ngapain kita sekolah 12 tahun, SD, SMP, dan SMA. Kalo hasil pembelajaran di sekolah kemudian di masyarakat menjadi penipu atau orang yang enggak amanah. Kita enggak hanya khianatin diri sendiri, tapi juga berdosa sama kedua orang tua kita, yang membiayai pendidikan kita. Dan juga mengkhianatin guru-guru kita. Apalagi kita ini pedagang. Sekali enggak jujur, hancur kita. Sudah banyak contohnya,” tambah saya.
Temanku diam saja.
“Saya punya teman, seorang sales motoris, ya gitu, kalo ada barang atau produk yang ada hadiahnya. Buru-buru dia ambil semua hadiahnya. Dia lepasin, diambil, ditaruh di tempat yang berbeda. Alasannya supaya pembelinya tidak melihatnya, atau agar tidak tahu. Supaya enggak minta hadiah. Dan hadiahnya itu buat dia sendiri. Apa yang kemudian terjadi, Teman saya itu sekarang usahanya bangkrut. Entah gimana nasib dia sekarang?,” jelas saya.
Bahkan ketika seorang muda yang berani ambil barang tanpa sepengetahuan saudaranya saja itu dampaknya enggak main-main loh. Lebih-lebih jika mencuri barang milik orang lain. Yang saya tahu perjalanan hidupnya enggak bakalan aman, cenderung enggak maju. Hidupnya malah penuh dengan kekurangan. Teman-teman bisa ngecek dilingkungan sekitaran tempat tinggal masing-masing.
Sesaat kemudian kasir memanggil saya, “Mas Sholeh mau transaksi tidak? Katanya sekalian memperbaiki belanjaan kemaren.”
Selanjutnya, saya izin pamit ke teman saya itu, hendak maju ke tempat kasir. Saya lihat dia duduk sembari menyandar di tembok.
(***)
Penulis: Ahmad Sholeh, Pedagang Sembako