Close Ads Here
Close Ads Here
Close Ads Here
Close Ads Here

Cerpen: Elegi Esok Pagi (4)

Oleh: Agus Sutawijaya.

(CIO) — Usianya sekitar 35 tahun. Masih muda, namun kharismanya luar biasa. Setiap tamu yang datang membezuk menaruh salam takzim buatnya. Kulitnya putih bersih, wajahnya bulat lonjong dengan dahi lebar berhias alis lebat nan hitam. Matanya coklat, tatapannya tajam namun sejuk. Giginya rapi, putih bersih seakan tak pernah tersentuh asap rokok sedari dahulu. Ia jarang berbicara, bibirnya senantiasa bergetar melafazkan zikir, namun senyuman selalu tersungging darinya. Sebuah tasbih kecil tiga puluh tiga mata nampak terselip dan berputar tak henti di sela jari telunjuk dan jari tengahnya.

Sudah satu pekan lebih ia menemani istrinya yang dirawat akibat kanker rahim. Beberapa kali mengalami kehamilan, namun selalu saja keguguran. Dan belakangan dokter memvonis bahwa “Umi” begitu ia memanggilnya tak akan pernah lagi punya anak. Dokter terpaksa mengangkat seluruh rahimnya akibat kanker yang dideritanya. Tempat tidur “Umi” bersebelahan dengan tempat tidur di mana sahabatku Herman di rawat. Disanalah pula pertama kali ia berkenalan dengan “Tengku Haji”.

Nama lengkap Tengku Haji adalah Tengku H. M. Hamdani S. Sos. I, beliau adalah seorang ulama muda kharismatik asal Aceh Tamiang. Tengku Haji memimpin sebuah “Dayah” sebutan orang Aceh untuk Pondok Pesantren. Dayah Bustanul Huda, Desa Lubuk Damar Kecamatan Seruway Kabupaten Aceh Tamiang. Sebuah Kabupaten pemekaran dari Kabupaten Aceh Timur yang berbatasan langsung dengan Provinsi Sumatera Utara. Jarak tempuhnya dari Kota Medan sekitar empat jam saja, sedang ke Banda Aceh harus ditempuh selama 10 jam dengan Bus Malam.

Selepas dirawat, Herman yang tak sekalipun dijenguk keluarganya selama di rumah sakit akhirnya dibawa oleh Tengku Haji ke Dayah Bustanul Huda. Ia habiskan waktu selama tujuh tahun di Dayah memperdalam ilmu agama dan hafalan al-Qur’an. Dari sanalah bekal hafalan Herman yang selama ini kukagumi ternyata berasal. Ia tumbuh menjadi seorang anak yang sangat dibanggakan. Prestasinya luar biasa. Ia bahkan memenangkan juara Harapan I MTQ tingkat Kabupaten Aceh Tamiang untuk bidang Tahfizd.

Tengku Haji sangat sayang padanya. Begitu pun Umi. Herman ibarat buah hati yang dikirim Allah buat pasangan shaleh ini. Tengku Haji bahkan sudah menggadang-gadang, bahwa kelak selepas pendidikan dasar di Dayah, Herman akan dikirim untuk melanjutkan sekolah di Negeri para Nabi. Ia juga selalu memotivasi Herman agar lebih semangat belajar, lupakan masa lalu yang tidak menyenangkan.

أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي

Sesungguhnya Allah berfirman: “Aku sebagaimana prasangka hambaku kepada-Ku. ” [HR. Muslim 4832, 4851; Tirmidzi 3527, Ahmad 7115]. Demikian potongan hadis yang selalu disampaikan Tengku Haji ketika memotivasi Herman.

“Tak ada yang namanya kutukan ananda, semua yang terjadi semua kehendak Allah, bahkan tak ada satu helai daun pun yang jatuh di tengah malam yang gelap, kecuali Allah telah tetapkan takdir buatnya,” ucap Tengku Haji sambil mengecup lembut kening anak angkatnya itu.

Di Dayah yang terletak di tepi Sungai Seruway itu, Herman Kecil seakan mendapat hidupnya kembali. Ia bertekad untuk membalas semua kebaikan Tengku Haji dan Umi yang telah sepenuh hati merawatnya dengan kasih sayang. Ia tumbuh sebagai pribadi yang santun dan menyenangkan. Pengetahuan agamanya sangat mumpuni. Tak jarang Herman mengisi kajian-kajian selepas shalat isya atau tarawih di beberapa Meunasah (Surau) atau masjid di seputaran Aceh Tamiang, bahkan sesekali sampai ke Kota Langsa.

Semua berjakan sangat indah di Seruway, hingga pada suatu dini hari yang hening. Ketika semua makhluk masih terhanyut dalam tidur. Sebuah kebakaran hebat menghanguskan hampir seluruh bangunan Dayah Bustanul Huda. Para santri dan pengasuh berlarian menyelamatkan diri. Tak ada yang bisa diselamatkan. Bangunan Dayah yang dibuat dari kayu dan papan menjadi santapan lezat si jago merah yang tiba-tiba saja mengamuk. Lokasinya yang jauh di pelosok Desa juga menyebabkan lambat datangnya bantuan mobil pemadam kebakaran.

Ketika Matahari telah menerangi bumi, barulah lima unit mobil pemadam kebakaran datang, memadamkan sisa-sisa api yang masih menyala di antara reruntuhan Dayah yang di bangun dengan Cinta oleh Tengku Haji. Hampir semua orang histeris ketika petugas menemukan jasad Tengku Haji yang memeluk tubuh Umi, tertimbun dibawah reruntuhan bangunan rumah tinggal mereka di sisi barat gedung utama, seakan melindungi Umi yang sedang sakit. Suami istri yang Allah pertemukan dalam Cinta, kini dipanggil dalam keadaan penuh cinta. Seketika dunia berubah. Seluruh mata seakan tertuju pada Herman. Semua orang tiba-tiba seakan memvonis, “Kamulah penyebab semua ini, Anak Terkutuk”.

Dan Herman berlari meninggalkan semua kenangan.

(***)

Ucapan Penulis Agus Sutawijaya buat para Pembaca CakrawalaIndonesia.Online (CIO) dan teristimewa buat Mba’ Dhian Mamatata yang lagi Ultah:

“Udah dulu gaes, udah azan Isya, oh iya met ulang tahun buat mba’ ku Dhian Mamatata barakallaaha fi umrik, di bawain hadiah apa sama babe dari Jawa” 

#kwa
#nulisaja

Penulis: Agus SutawijayaEditor: M Syari Faidar