Close Ads Here
Close Ads Here
Close Ads Here
Close Ads Here

Cerpen: Dapur Rumah Nenek

Oleh: Mastiardi.

(CIO) — Bagi yang lain mungkin ini hanya kisah biasa. Bagi saya yang tinggal bersamanya tentu menjadi kenangan yang kembali terkuak seiring nenek berpulang hari ini.

Saya mengambil gambar dengan kamera hp di beberapa sudut rumah termasuk dapur nenek. Di dapur ini dulu adalah ruang produksi kerupuk ubi.

Saya mengenang sebuah tim produksi bekerja di sini. Di dapur rumah nenek. Kerupuk ubi yang dijual di pasar Rumbio itu di buat oleh Amai, Etek. Sampai produk setengah jadi berupa kerupuk “uwuok”. Itu yang memproduksi tenaga perempuan.

Satu lagi produk kerupuk ubi yang diproduksi di dapur rumah nenek adalah kerupuk giling. Kerupuk giling ini dibuat oleh tim lelaki, mamak dan saya pun ikut memproduksinya. Menggiling ubi yang sudah direbus, lalu ditumbuk pakai lesung dan ditambahkan bumbu berupa bawang, garam dan lainnya.

Setelah digiling, pada sebidang papan, lalu lempengan ubi yang seperti selaput tebal tadi dicetak pakai cetakan tradisional dari tutup ceret aluminium. Lalu hasil setiap cetakan diletakkan di tikar anyaman pandan berukuran 80cm x 120cm untuk dijemur di halaman rumah yang sudah dibuatkan tempat penjemuran khusus.

Setelah kering kerupuk giling ini tinggal digoreng. Begitu juga dengan kerupuk “uwuok” tadi. Proses pembuatannya saja yang berbeda, begitu juga tenaga pembuatnya. Produknya sama-sama berupa kerupuk kering yang siap digoreng.

Setiap sore Rabu dapur rumah nenek ramai dengan aktifitas ekonomi. Pada hari itu kerupuk kering digoreng untuk dijual setiap hari Kamis di pasar Rumbio. Almarhum Mak Tuo lah yang menggorengnya.

Menggunakan kuali besar yang digenangi berkilo-kilo minyak goreng. Berjam-jam Mak Tuo menggorengnya setiap lempengan kerupuk kering tadi sampai terisi penuh keranjang rotan berdiameter semeter lebih dengan tinggi hampir setinggi kepala saya. Tinggi saya kalau yang tertera di SIM 165cm. Tapi sepertinya tidak sampai.

Rabu malam proses penggorengan selesai dan subuh Kamis keranjang rotan berisi ribuan kerupuk yang sudah digoreng tadi dibawa pakai becak sepeda. Di kayuh. Saya lah yang mengantarnya subuh Kamis saat jalan belum begitu terang bersama Pijon.

Pijon menggoes, saya yang membantu mendorong becaknya dari belakang menuju pasar selama setengah jam. Pasar sudah ramai waktu kami memasuki lorong-lorongnya. Kami sudah tahu dimana lokasi dan titik lapak keranjang kerupuk ubi itu diletakkan. Pas di depan teras mesjid pasar. Di samping pak Amin Ambo yang artis itu membuka lapak berupa rantang kosong mengharapkan orang lewat melempar receh ke dalam rantang pak Amin Ambo.

Tugas saya dan Pijon selesai sampai disitu. Lalu kami pulang dan meninggalkan kerupuk tadi di pasar menunggu orang yang akan menjualnya selama pasar berlangsung dari pagi hingga sore. Kalau mujur siang sudah habis. Nenek lah yang tukang jualnya. Nenek tidak terlibat proses produksi. Paling nenek terlibat negosiasi pembelian bahan baku berupa petak kebun singkong untuk bahan baku kerupuk. Saya dan Mamak Iwin menggalinya setiap sore untuk dibuat kerupuk besok pagi.

Begitu banyak orang yang terlibat pada proses pembuatan kerupuk tersebut, mulai menggali singkong, merebus, menumbuk ubi, menggiling, menjemur, mengangkatnya ketika sudah kering, mencopotnya kembali satu-persatu dari tikar pandan, menggoreng, menyusunnya di keranjang –yang ini saya juga sering ikut, saya paham teknik menyusunnya agar bisa berdiri tinggi di keranjang–, mengantarkannya ke pasar dan menjual.

Orang yang terlibat juga cukup banyak, mulai saya, Mamak –Paman–, Amai –Bibi–, Etek, Mak Tuo sampai Nenek sendiri. Namun Nenek lah bosnya. Ia lah pemilik bisnis ini, Kami semua adalah para pekerja. Tentu pekerja sukarela tanpa digaji. Kami bekerja di bawah komando Nenek.

Dari Nenek lah saya juga belajar berniaga, membagi tugas tim dan tentu soal agama. Karena saya tinggal bersamanya sejak SMP hingga menamatkan SMA. Sambil membantu Nenek di bisnis kerupuknya. Om dan tante juga punya kegiatan dan profesi lain, ada yang dagang kain, toke karet dan bahkan Mak Tuo dan Etek adalah pegawai negeri. Kami bekerja di dapur produksi nenek sesuai jadwal yang telah diatur di luar aktifitas rutin.

Sekarang dapur itu tinggal kenangan, tidak lagi seramai puluhan tahun silam. Apalagi sore Rabu dapur ini hampir diam, tanpa suara, tidak ada suara minyak mendidih atau kerupuk di goreng.

Nenek berhenti berjualan saat usianya telah senja. Ia masih sehat bugar hingga usia 70an tahun. Anak-anak nya lah yang meminta nenek berhenti berjualan yang sering diabaikan Nenek. Saat itu saya senang jika ada negosiasi dari Ibu, Maktuo, Etek, Paman saat meminta Nenek tidak lagi berjualan kerupuk. Karena tentu menguntungkan bagi subuh Kamis yang selalu dibangunkan pagi-pagi.

Selamat Jalan Nek. Dapur ini telah lama diam sejak Nenek tidak lagi jualan kerupuk di pasar Rumbio. Apalagi saat ini dan ke depannya, Dapur rumah Nenek akan terus diam dan menjadi kenangan bagi kami yang pernah tinggal di sini yang saat ini di bagian sumur sudah dipenuhi tanaman pakis dan sarang laba-laba tanda dapur ini tidak lagi berpenghuni.

Semoga semua amal ibadah selama di dunia. Termasuk lantunan ayat suci Al-qur’an setiap subuh yang menjadi lonceng membangunkan saya dari tidur untuk memulai aktifitas pagi dan segera bersiap ke sekolah mendapat balasan dari yang Maha Kuasa.

(***)