Close Ads Here
Close Ads Here
Close Ads Here
Close Ads Here

Cerpen Anekdot: Tapai

Oleh: Agus Sutawijaya.

(CIO) — Panas sekali di luar siang ini. Di dalam masjid ini juga tak jauh beda. Masjid ini hanyalah masjid kampung. Tak ada pendingin udara di sini. Hanya enam buah kipas angin gantung tua yang berputar malas-malasan. Tak mampu lagi mengusir hawa panas di dalam ruangan yang siang ini penuh sesak.

Aku duduk di depan sebuah meja kecil. Sesekali kulonggarkan simpul dasi hitam yang kukenakan. Dalam hati aku mengutuki kebodohanku menuruti saran teman-temanku agar aku memakai setelan kemeja putih, jas dan dasi ini. Gerah luar biasa. Padahal tadinya aku berencana memakai baju koko saja.

Di hadapanku duduk berwibawa pak KUA. Dengan takzim ia membacakan tertib dan rukun nikah, lalu dilanjutkan dengan khotbah nikah.

Pak Lurah duduk di sebelah kiriku. Ia mengajukan diri untuk menjadi saksi di pernikahanku. Pernikahan yang akan dikenang dan dicatat sebagai sejarah baru di desa kami. Bagai mana tidak, aku yang hanya seorang anak kampung ini akan menikahi seorang perempuan yang sangat cantik sekali, orang luar negeri pula.

Di sebelah kananku duduk dengan bangga ayahku. Sesekali ia mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan masjid ini. Takjub ia akan ramainya pengunjung yang menghadiri acara akad nikah putra semata wayangnya. Sesekali senyummya tersungging. Dalam hatinya mungkin ia berkata, “Lihatlah anakku yang selama ini kalian ejek, lihat ia sekarang, menyesallah kalian yang dahulu menolak lamarannya…”.

Bintang acara hari ini adalah gadis cantik bermata sipit dengan gaun kaftan merah berenda benang emas. Ia duduk dikelilingi Mak dan keluarga dekatku. Diantara mereka, gadis itu bersinar bagai bintang kejora. Kulitnya yang putih bersih kontras dengan kulit Mak dan wanita kampung lainnya.

Masyarakat berduyun-duyun, berebut ingin menyaksikan calon istriku. Seorang perempuan keturunan Cina yang rela dibuang oleh keluarganya demi mempertahankan cintanya pada seorang pemuda kampung dekil ceking dan miskin. Sungguh kisah cinta yang epik.

Aku gugup bukan kepalang ketika prosesi akad nikah dimulai. Tanganku gemetar menyambut uluran tangan dari pak KUA yang menjadi wali hakim bagi calon istriku yang seorang muallaf.

“Hai Agus Anak Dahlan Bin Ahmad Dahlan”

“Saya pak” jawabku

“Aku nikahkan engkau dengan Sinta Amelia yang telah diserahkan walinya kepadaku dengan mas kawin seperangkat alat shalat dibayar tunaaai..”

Aku diam tak menjawab akad itu. Mulutku terkunci. Tubuhku kaku. Ayahku memberi tanda padaku dengan menowel pahaku. Namun sekujur tubuhku terasa membeku. Keadaan menjadi tegang. Orang-orang menatap lekat ke arahku.

Ayahku mengguncang-guncang bahuku. Suaranya keras memanggilku. Namun aku sedikitpun tak mampu merespon. Sebuah tamparan keras mendarat di pipiku.

Aku terperangah. Ayah berdiri di depanmu. Suaranya keras memanggilku.

“Agus, bangun. Udah mau iqamat masih aja meringkuk tidur…!!”

Oo… Tapai….

(***)

Penulis: Agus SutawijayaEditor: M Syari Faidar