Close Ads Here
Close Ads Here
Close Ads Here
Close Ads Here

Cerbung: Aku, Buku dan Perjalanan Adaptasiku (3)

Oleh: Al Firdaus, Tenaga Pendidik.

(CIO) — Waktu kami masuk ke Mall Puri menuju Gramedia kami sudah harus dicek suhu tubuh. Yang awalnya menggunakan alat kecil seperti pistol air mainan. Sampai pada alat yang cukup berdiri saja di depannya akan keluar dari monitor hasil suhu tubuh. Belum lagi di perbagai retail termasuk Gramedia pengawas mewajibkan standar 3M. Bahkan poster-poster berisi tentang ajakan mematuhi protokol Covid-19 ditempel di mana-mana. Membuat kita semua harus menjaga kesehatan masing-masing.

Kami melakukan perjalanan keluar rumah setelah memasuki tahun 2021 bulan Februari. Di situ saya mulai membeli buku kesukaan saya. Memang ketika saya berada di Jakarta beberapa tahun ini saya sering berkunjung ke Gramedia tapi tidak hanya di Mall Puri. Saya sempat ke PIM, sewaktu masih bekerja di PIM maka di situlah saya mulai membeli buku-buku bacaan.

Terhitung sudah 8 tahun dari 2012. Awalnya saya membeli novel yang sedang booming waktu itu. Seorang penulis bernama Ahmad Fuadi novel yang berjudul Rantau Muara. Novel tersebut memang bagus. Karena masih berhubungan dengan novel Negeri 5 Menara. Novel ini pun sudah viral lebih dulu. Dan Sempat kan difilmkan. Tapi saya tidak sempat mencicipi novel Negeri 5 Menara. Saya hanya sempat membaca novel Ranah 3 Warna. Novel itu memang keren memiliki ciri khas.

Di karenakan saya pindah tempat bekerja akhirnya saya pun pindah ke toko Gramedia. Dan profesi saya pun berganti menjadi seorang guru di Sekolah Dasar. Dan saya pun belajar untuk menyelesai tulisan saya sendiri utuh pada tahun–tahun itu. Kemudian tulisan itu saya kirim ke berbagai ajang. Tapi ya begitulah. Kalau diceritakan intinya saya harus belajar lagi dalam menulis. Dan saya pun masih terus menulis, memikirnya lebih dalam apa yang salah. Bagaimana yang benar. Seperti apa yang menarik. Terjual atau tidak. Enak dibaca atau tidak. Monoton atau tidak. Salah atau tidak. Kosa kata sudah atau belum. Sesuai kontek zaman now atau tidak. Melanggar kode etik atau tidak. Menyingung SARA atau tidak. Berapa biaya produksinya. Diterbitkan penerbit Indie atau Major. Dan yang terakhir berujung pada pertanyaan berhenti menulis atau menulis. Terus sampai tidak ada pertanyaan lagi tentang itu bahwa sejatinya kalau saya adalah memang memilih menulis. Sekalipun banyak pahitnya.

Beberapa hari yang lalu saya membeli buku karya Bang Benny Arnas bukunya banyak diterbitkan di Gramedia ia termausk penulis produktif setidaknya sudah 25 buku ia tulis. Bahkan cerpen-cerpennya pun sudah sering tampil di koran-koran nasional. Ada di Tempo, Republika, Kompas. Dan bahkan tulisannya pun pernah dimuat sebagai film. Walaupun ia pernah menang lomba sayembara menulis yang setiap tahun diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta, saya pun ikut. Dan ternyata Bang Benny Arnas pemenang lomba itu.

Tapi yang membuat saya heran Bang Benny tidak kaya seperti yang digambarkan orang. Bahwa seorang penulis itu kaya. Mungkin dalam pikiran orang ia banyak menulis buku tentu banyak uangnya. Itu tidak Bos. Bahkan ia pernah berkata uang film itu habis…bis…bis. Bahkan istrinya yang guru honor tidak bisa membayar pengasuh anaknya sendiri. Pengasuh anak berapa sih? Jika kita mau bertanya. Paling besar 500 ribu atau lebih tergantung jam kerja. Jika fulltime maka sejuta ke atas. Jika ia tetangga dekat rumah kita, diperkirakan dia tidak menuntut bayaran tinggi.

Hal yang patut diacungi jempol pada Bang Benny sampai sekarang masih semangat mengadakan acara workshop kepenulisan gratis di Sumatera Selatan. Padahal waktu saya mengikuti workshop kepenulisan saya harus merongoh kocek satu juta. Untungnya saya bisa bayar dua kali alias nyicil. Itu cuma satu minggu kepenulisan saja materinya sudah dipotong-potong. Enggak kebayang buat saya orang seperti Bang Benny Arnas itu. Mungkin banyak juga penulis lain yang seperti itu.

Oleh sebab itu Bang Tere Liye seorang produktif juga, yang ketika kita masuk ke Gramedia bukunya sudah berjejer rapi seperti ikan-ikan besar di pasar lelang. Dia berkata, Jangan beli buku bajakan kasihan penulisnya. Dia banyak mengupas masalah kepenulisan di dalam buku berjudul Selamat Tinggal yang diterbitkan Gramedia 2020.

Ia menyesalkan jika karya seorang penulis dibajak kemudian dijual seenaknya. Yang menjual memang tidak tahu bahwa karya yang ditulis seorang oleh penulis itu dihasilkan dengan berteman berbagai hal yang tidak mengenakan seperti dinginnya malam, tempat yang kecil atau sempit, peralatan tulis komputer yang terkadang tiba-tiba mati. Dan adakalanya penulis seperti kebingungan. Dengan keadaan seperti itu kadang mati pula ide menulisnya. Kadang ia lupa makan. Pandangan mata terkadang berasa aneh ketika selesai menulis. Duduk terkadang sampai berjam-jam. Bahkan pernah sampai 14 jam di depan komputer. Setelah duduk terlalu lama jadi susah berdiri. Karena pinggang sakit. Itu dilakukan hanya untuk menghasilkan karya penulisan yang baik.

Setelah selesai menulis pun kadang Penulis harus mengedit. Dalam editan pun pasti memikirkan banyak hal. Tentunya, itu dilakukan untuk mendapatkan hasil terbaik. Agar pembaca enak menikmati karyanya. Maka tak heran jika dalam buku itu Tere Liye menyuarakan hati kecil para penulis. Bahwa mereka berperang dengan kata-kata bajakan. Itu bukan hanya merugikan penulis, tapi perusahaan percetakan yang didalamnya banyak orang yang terlibat. Termasuk tukang sapu yang membersihkan buku-buku di Gramedia. Mereka terlibat dengan buku-buku itu, karena yang membayar gaji mereka tentu saja dari hasil pendapatan penjualan buku.

(***)

Penulis: Al Firdaus

Profesi penulis sebagai Tenaga Pendidik di SD Tahfiz Jabal Rahma dan SD Cikal Cendekia Tangerang.