Oleh: Anab Afifi.
Kantor Pos lenyap. Itu konsekuensi. Betapa pun di zamannya, Kantor Pos adalah lembaga paling romantis. Lembaga tempat merindu ketika pasangan jarak jauh saling menunggu surat cinta.
Atau ketika para santri yang setia menunggu kiriman uang melalui Pos Wesel dari orang tua. Seperti pernah saya alami 30 tahun lalu.
Tetapi semua harus berubah. Puisi tak lagi dikirim melalui surat cinta atau Kartu Pos. Wesel pun telah lama hilang.
Disrupsi telah datang. Akibat era digital.
Tak hanya perusahaan. Tak hanya lembaga. Negara juga akan segera hilang terkena disrupsi!
Pernah ada orang bilang: Indonesia akan bubar pada 2030. Kemudian banyak yang marah.
Itu karena terdengar vulgar. Kasar. Ditambah lagi dengan tingkat penerimaan literasi yang rendah. Miskin narasi dan diksi.
Bagaimana jika kalimat itu saya ubah menjadi: Negara RI ini tengah menyongsong disrupsi.
Saya yakin Anda akan senyum-senyum. Kalau pun toh Anda nggak setuju, paling jengkel sedikit.
Hilangnya sebuah negara bukan berarti buyar perangkat fisiknya. Tetapi hilangnya peran dan kontrol terhadap masyarakat. Ini bukan teori baru.
Dua puluh tahun lalu orang sudah bicara stateless society. Masyarakat tanpa negara.
Penjelasan sederhananya bagaimana?
Petani tetap akan menanam padi meski tidak ada negara. Orang akan tetap belajar. Tetap sekolah. Tetap mencari uang. Kawin dan beranak-pinak. Dan seterusnya tanpa kehadiran negara.
Penjelasan inteleknya bagaimana?
A stateless society is a society that is not governed by a state, or, especially in common American English, has no government. In stateless societies, there is little concentration of authority; most positions of authority that do exist are very limited in power and are generally not permanently held positions; and social bodies that resolve disputes through predefined rules tend to be small. Stateless societies are highly variable in economic organization and cultural practices.
Itu penjelasan dari Wikipedia.
Pada tahun 1987, futurolog Alfin Tofler, berbicara tentang desa dunia. Warga dunia. Global citizenship.
Kalimat itu sebetulnya menjelaskan tentang hilangnya peran negara. Yang diikuti oleh hilangnya berbagai perangkat produk negara. Bertahap. Pelan namun pasti.
Tofler hendak mengatakan: kelak identitas KTP bentuknya sudah lain. Karena setiap orang adalah “warga dunia” dan bukan lagi “warga negara”.
Dalam bahasa budayawan Emha Ainun Najib: dunia adalah bagian dari desa saya.
Sahabat saya, Among Kurnia Ebo, sudah membuktikan kalimat sakti Mbah Nun tersebut.
Ia sudah keliling hampir ke 100 negara. Tidak menggunakan KTP. Tak bawa uang. Berbekal buku kecil berisi 48 halaman bernama paspor. Dan, kartu gesek!
Paspor adalah bentuk identitas warga dunia yang paling tradisional. KTP-nya warga dunia. Kelak juga akan berubah bentuknya.
Ebo sering berseloroh: Sebulan saja nggak terbang keluar negeri, badan saya pegal-pegal dan panuan!
Bagaimana dengan benda kecil yang menjadi bukti warga negara bernama KTP itu?
Kelak akan tidak bermakna lagi. Tak berbentuk lagi. Anda tidak akan lagi diminta menunjukkan benda lucu itu — kelak KTP akan jadi barang lucu dan aneh — untuk berbagai keperluan.
KTP akan berubah menjadi barang ghoib. Angka-angka digital yang tak terlihat mata. Berbentuk biometrik. Berbentuk pembacaan sidik jari secara digital, dan sebagainya.
Tak ada lagi ribut-ribut e-ktp palsu yang berceceran di jalan. Atau daftar pemilih ganda sebanyak puluhan juta seperti yang dipermasalahkan menjelang Pemilu.
Selamat datang dunia baru. Selamat menikmati hari Minggu.
Mau berubah atau tidur ngorok, itu pilihan Anda. #aanote
(***)
Sources: FP Khasanah Anab Afifi
(Alm) Anab Afifi merupakan salah seorang dari Penulis Buku Best Seller Banjir Darah.