Oleh: Anab Afifi, Konsultan Komunikasi dan Penulis Buku.
# Writing in Action Series with Anab Afifi (8)#
Apakah kemampuan menulis itu sebuah bakat? Bisa jadi.
Apakah setiap penulis hebat berangkat dari bakat menulis? Tidak selalu.
Apakah semua penulis hebat pasti penulis berbakat? Belum tentu.
Apakah orang yang berbakat menulis pasti jadi penulis hebat? Tidak!
Jawaban semua pertanyaan itu memang mengandung ketidak pastian. Dan sebelum membahas pertanyaan-pertanyaan di atas saya ingin mengajukan pertanyaan lain.
Apakah kemampuan berbicara merupakan bakat? Apakah semua bayi pada akhirnya bisa berbicara? Mengapa semua bayi pada akhirnya bisa berbicara kecuali yang tunawicara?
Makanya, saya lebih suka membuang diksi hebat dan bakat dalam kepala saya. Selanjutnya akan fokus pada tujuan menjadi penulis yang berhasil.
Penulis yang berhasil adalah penulis yang bisa menunjukkan karya menulisnya secara nyata. Bukan penulis hebat ataupun penulis berbakat.
Karena sesungguhnya, setiap orang excellence — hebat — dan berbakat dibanding satu sama lainnya.
Pekan lalu, salah satu karyawan saya mengundurkan diri. Andi, desainer grafis berusia 21 tahun ini, menurut pengakuannya akan melanjutkan kuliah S1 nya di Bandung.
Sebagai anak muda dengan latar pendidikan formal informatika, praktik kerja dia sungguh berbeda. Dia menyukai desain grafis.
“Kamu berbakat di bidang desain grafis. Tapi masalah terbesar kamu adalah soal disiplin”, demikian saya memberi penilaian atas kinerjanya. Dia masih dalam masa percobaan dan baru tiga bulan bekerja.
Saya katakan bahwa, bagi saya tidak ada urusan dengan alasan bahwa dia mau melanjutkan kuliah atau lainnya. Tapi, sesungguhnya dia tidak saya rekomendasikan untuk lanjut bekerja di perusahaan saya karena masalah disiplin itu.
Sontak wajahnya berubah. Saya memaklumi anak muda seusia dia.
“Tapi jangan anggap saya membenci kamu. Justru karena ingin mendorongmu maju. Ini adalah pelajaran yang penting untuk masa depanmu”.
Selanjutnya, sebagai kenang-kenangan saya berikan dia kuis atau pertanyan.
“Dari sepuluh orang berbakat di bidang apapun seperti dirimu, berdasarkan riset, ternyata yang berhasil cuma satu orang saja. Kenapa?”
Saya tidak memintanya menjawab saat itu juga. Biarlah dia mencari sampai kapan bisa ketemu jawaban.
“Jika kamu ingin berhasil, maka kamu harus mencari jawaban itu”, pungkas saya.
Pertama kali saya dapat tugas mengarang adalah saat masih kelas 5 SD. Saya kerjakan tugas itu penuh antusias. Saya merasa karangan saya nilainya akan bagus.
Kenyataannya, saya hanya dapat 6,5. Sementara teman saya yang waktu mengerjakan PR nya biasa-biasa saja nilainya 8.
Namanya Hadi. Dia memang murid yang berbakat dan pandai di semua pelajaran.
Kenyataan itu sungguh melukai perasaan saya. Tapi itu hanya bisa saya simpan sendiri. Tak ada yang bisa saya banggakan di depan ayah saya.
Di sekolah menengah, nilai bahasa Indonesia saya juga rendah. Karena memang pelajaran bahasa Indonesia sebetulnya tidak mudah. Di kelas hanya ada dua murid pandai dan menonjol. Ada satu murid yang sudah pandai dan berbakat menulis.
Perkembangan selanjutnya, setelah hampir 30 tahun berlalu sampai hari ini, si pandai dan bakat menulis itu belum terlihat karya tulis menulisnya.
Mereka berdua berprofesi sebagai dosen. Salah satunya bergelar doktor dari luar negeri.
Tidak salah. Profesi dosen memang hanya diperuntukkan bagi mereka yang pandai.
Sejak sekolah menengah saya bertekad agar kelak bisa menjadi seorang wartawan koran terkemuka. Namun impian itu kelak di kemudian hari kandas.
Di tahun ke dua kuliah saya mencoba merenung mencari jawaban atas pertanyaan saya sendiri saat baru kuliah. Saat itu saya bertanya: ke mana setelah lulus?
Pertanyaan itu sekaligus menjadi judul artikel kolom saya yang pertama kali dimuat majalah kampus ASPIRASI. Bangganya bukan main rasanya. Itu terjadi di tahun 1990.
Dari perenungan tersebut saya menemukan jawaban kongkrit. Saya mencoba melukiskan masa depan saya dengan sebuah film di pikiran saya dengan indah dan jelas.
Sungguh ajaib. Apa yang telah saya lukis 25 tahun lalu, adegan filmnya persis apa yang saya jalani di kehidupan saya hari ini.
Saya merasa telah berhasil mewujudkan impian saya dengan satu kata: menulis.
Dulu teman-teman sekolah saya bilang saya berbakat. Saya senang dan terhibur dengan pernyataan itu. Namun, jika saja saya tidak termotivasi berlatih, ceritanya akan lain.
Mengapa orang-orang berbakat malah banyak gagal?
Ternyata jawaban utamanya, mereka tidak memiliki goal yang jelas terkait bakat mereka.
Saya tidak tahu apakah Andi mantan karyawan saya itu membaca uraian ini. Tapi saya akan lebih senang bila ia menemukan jawaban dengan caranya sendiri.
Bakat adalah anugerah. Tetapi anugerah Tuhan itu tidak serta merta menjadi value dan unsur pembeda jika tidak didayagunakan.
Ketika bakat tidak didayagunakan, ia hanya akan membuat Anda “merasa berbeda”.
Berbeda itu juga sebuah value. Namun definisinya adalah: “nilai perbedaan yang benar-benar memberikan perbedaan nyata dari sisi hasil dan kecepatan,” demikian Anthony Robbins dalam Awaken the Giant with in.
Berbicara menulis, dengan rumus itu ukurannya adalah hasil tulisan dan kecepatan Anda menulis.
Mengapa kecepatan? Karena sifat manusia yang bergerak tidak suka menunda dan benci menunggu.
Seperti ketika artikel ke delapan ini mulai saya tulis saat menunggu klien saya di Jakarta. Saya diminta datang. Ternyata tuan rumah belum ada di ruangan sesuai waktu yang ia tentukan sendiri.
Dari pada dirundung kebosanan yang menyiksa, saya buat tulisan ini. Celakanya, baru beberapa paragraf baterai hanphone Android saya ini drop. Saya lanjutkan lagi habis subuh ini 15 menit saja. Selesai sudah.
Jika saya bisa menulis artikel ini hanya dalam beberapa menit, maka Anda pun bisa. Semua bisa diwujudkan karena latihan dan latihan.
Kesimpulanya, bakat bukanlah segalanya.
Tidak ada penulis berbakat dan hebat. Bagi saya, yang ada hanyalah penulis terlatih.
Selamat beraktifitas. Saya mau lanjut nggowes dulu, walau hanya setengah jam mengitari komplek.
(***)
Anab Afifi merupakan penulis dari buku Best Seller “Banjir Darah.”