CIO – Melesatnya kegiatan ekonomi membuat mobilitas warga sekarang ini semakin tidak tertahan. Tuntutan agar bisa berpindah tempat dengan cepat menjadikan kendaraan motor untuk moda transportasi yang paling dibutuhkan masyarakat.
Tentu Ini mendorong melonjaknya permintaan akan kendaraan motor pribadi. Sekarang ini bukan hal yang mengherankan bila setiap rumah tangga mempunyai kendaraan motor baik roda 2 maupun roda 4 lebih dari satu kendaraan.
Kenaikan jumlah kendaraan yang signifikan ikut memberikan sumbangsih untuk pendapatan daerah. Masalahnya pemilikan kendaraan bermotor terlekat dengan kewajiban pajak kendaraan bermotor (PKB).
Karena itu, wajar jika PKB seolah-olah menjadi unggulan pendapatan pajak di banyak daerah. Lalu, sebenarnya apa yang disebut dengan PKB?
Pengertian
Merujuk pada Pasal 1 angka 12 UU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD), pajak kendaraan bermotor (PKB) ialah pajak atas kepemilikan dan/atau penguasaan kendaraan bermotor.
Tentang hal yang disebut dengan kendaraan motor ialah semua kendaraan beroda dan gandengannya yang digunakan pada semua jenis jalan darat serta digerakkan oleh peralatan tehnik berupa motor atau peralatan lain.
Peralatan penggerak itu berperan mengganti energi tertentu menjadi tenaga penggerak kendaraan. Pengertian kendaraan bermotor termasuk alat berat yang dalam operasinya menggunakan roda serta motor dan tidak melekat secara tetap, dan kendaraan bermotor yang dioperasionalkan di air.
Walau demikian alat berat tercakup dalam pengertian kendaraan dan sebelumnya termasuk juga object PKB. Tetapi, semenjak keluarnya Keputusan Mahkamah Konstitusi No. 15/PUU-XV/2017 tentang pengujian UU PDRD, alat berat tidak dikelompokkan untuk kendaraan motor yang dipungut pajak.
Hakim menyatakan pemungutan pajak atas alat berat berlaku selama 3 tahun setelah keputusan Mahkamah Konstitusi keluar dan sepanjang belum ada peraturan baru dari regulator.
Keputusan ini sejalan dengan dibatalkannya pasal yang menyatakan alat berat/besar termasuk juga kendaraan bermotor dalam UU Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Pemungutan PKB saat ini berdasar pada UU No.28/2009 (UU PDRD) Pasal 3 s/d Pasal 8. Dalam ketetapan sebelumnya, PKB diatur dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU No.18/1997. Dalam undang-undang tersebut PKB ditetapkan sebagai pajak daerah tingkat I dengan tarif 5%.
Tetapi, UU No.18/1997 tidak mennjelaskan pengertian dari PKB. Walau demikian, kendaraan air dianggap sudah tercakup dalam ketetapan PKB. Bersamaan dengan diundangkannya UU No.34/2000 terminologi kendaraan bermotor diperluas dan dilaksanakan pemisahan secara tegas.
Ini membuat PKB diperluas jadi pajak kendaraan bermotor dan kendaraan di atas air. Oleh karena itu, beberapa propinsi memungut pajak kendaraan darat dan kendaraan di atas air untuk jenis pajak secara terpisah, yakni PKB dan Pajak Kendaraan di Atas Air (PKAA).
Namun, dengan diundangkannya UU PDRD pada 2009 mengganti kembali lagi definisi PKB serta PKAA menjadi Pajak Kendaraan Bermotor (PKB). Walau berbeda menjadi PKB, UU PDRD memperjelas jika kendaraan di atas air termasuk juga dari kendaraan motor.
Pengertian tegas atas kendaraan bermotor ini jadi landasan hukum yang kuat jika PKB bukan hanya menyasar kendaraan yang beroperasi di darat tapi juga di atas air. Akan tetapi, pengenaan PKB pada prinsipnya tidak mutlak ada di setiap propinsi di Indonesia.
Hal Ini terkait dengan kewewenangan yang diberikan ke pemerintahan propinsi untuk mengenakan atau mungkin tidak mengenakan jenis pajak propinsi. Karena itu, jika satu propinsi ingin mengenakan PKB harus lebih dahulu mengeluarkan ketentuan daerah mengenai PKB sebagai landasan hukumnya.
PKB atas Pemungutan
Pemungutan PKB didasari dari nilai jual kendaraan motor (NJKB) serta bobot yang menggambarkan dengan relatif tingkat kerusakan jalan serta/atau pencemaran lingkungan karena pemakaian kendaraan motor.
Spesial untuk kendaraan motor yang dipakai di luar jalan umum, termasuk juga beberapa alat berat, beberapa alat besar, serta kendaraan di air, dasar pengenaan pajak (DPP) PKB pada NJKB. NJKB berdasar atas ketentuan harga rerata/rata-rata yang diperoleh dari berbagai sumber data yang tepat dan akurat.
Disamping itu, bobot dihitung berdasar unsur spesifik salah satunya tekanan gandar, tipe bahan bakar, serta tahun pengerjaan. Penghitungan DPP PKB ini dinyatakan pada suatu tabel yang diputuskan dengan Ketentuan Menteri Dalam Negeri setelah mendapatkan pertimbangan dari Menteri Keuangan.
PKB mempunyai tarif tersegmentasi menjadi dua. Pertama, kepemilikan pertama dikenai tarif terendah 1% dan tertinggi 2%. Kedua , pemilikan kedua dan selanjutnya tarif dapat dikenakan progresif paling rendah 2% dan tertinggi 10%.
Hasil penerimaan PKB adalah merupakan pendapatan daerah yang harus disetorkan ke kas daerah propinsi. Akan tetapi, beberapa dari hasil pendapatan PKB ditujukan untuk daerah kabupaten /kota di daerah propinsi tempat pemungutan PKB.
Pembagian hasil pendapatan PKB diputuskan dalam ketentuan daerah propinsi, dengan perimbangan 70% bagian propinsi dan 30% bagian kabupaten/kota. Pembagian hasil pendapatan ini dilaksanakan setelah dikurangi dengan cost pemungutan 5%.
Pembagian hasil pendapatan PKB harus juga memperhatikan faktor pemerataan serta kekuatan antar daerah. Ini dilakukan dengan pertimbangan potensi masing-masing daerah, sehingga pemerataan serta keadilan besarnya pada setiap kabupaten/kota didasari atas kesepakatan.
Berdasar kesepakatan itu gubernur menetapkan bagian untuk masing-masing kabupaten/kota. Akan tetapi, sedikitnya 10% hasil dari pendapatan PKB,termasuk juga yang diberikan ke kabupaten/kota, harus didistribusikan untuk pembangunan jalan dan peningkatan moda transportasi serta fasilitas angkutan umum.
Perihal ini diketahui sebagai mengalokasikan yakni suatu kewajiban pada pemerintahan propinsi untuk membagikan/mengalokasikan sebagian penerimaan dari hasil penerimaan pajak daerah untuk mendanai dalam pembangunan fasilitas serta prasarana secara langsung yang bisa dinikmati oleh pembayar pajak serta seluruh masyarakat, sehingga dapat juga berdampak positif terhadap ekonomi rakyat memalui konektivitas infrastuktur transportasi.