CIO—Burung Betet atau Lanius Schach kini sangat langka terlihat di hutan, terlebih kebun bahkan di pekarangan rumah.
Salah satu burung pemakan serangga yang dapat hidup di atas ketinggian lebih dari 1.500 mdpl itu berfungsi sebagai penyeimbang ekosistem.
Burung dilindungi memiliki suara kicauan yang khas itu diburu secara masif.
“Di banyak daerah dilaporkan semakin sulit dijumpai karena penangkapan secara masif di alam bebas,” kata Ketua Profauna Indonesia, Rosek Nusahid, Sabtu (18/6/2022).
Pihaknya sangat prihatin dengan perburuan burung Betet hanya untuk keuntungan pribadi dan diperjualbelikan.
Perlu diketahui, burung berperan penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem. Namun, itu hanya akan terjadi jika tidak ada penangkapan terhadap burung.
“Sejak dikenal sebagai burung berkicau yang turut dilombakan, burung ini (Betet) menjadi buruan pemikat,” bebernya.
Dijelaskan, bahwa mengambil atau membawa burung jenis apapun, termasuk yang tidak dilindungi, keluar dari kawasan hutan dapat dipidana.
“Prinsipnya adalah dilarang dan pelakunya disanksi 1-5 tahun penjara sesuai UU yang belaku,”katanya.
Balai Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem mengimbau masyarakat untuk tidak memelihara satwa yang dilindungi Negara.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya telah mengatur terhadap spesimen tumbuhan dan satwa liar.
Dikutip CIO dari tulisan Dr Nandang Pribadi berjudul ‘Apa Hukumnya Memiliki Satwa yang Dilindungi?’ diterbitkan oleh Ditjen KSDAE spesimen tumbuhan dan satwa yang tidak diketahui asal usul dan status keturunanya dianggap tangkapan dari alam.
“Setiap kepemilikan satwa atau burung itu ada dasar aturannya” ujar Kepala Balai Besar KSDA Jawa Timur, Dr Nandang Pribadi, S.Hut M.Sc.
Terkait satwa penangkaran, maka, merujuk pada Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.19 Tahun 2015 tentang Penangkaran Tumbuhan dan Satwa Liar.
Pemegang izin penangkaran wajib memberikan tanda terhadap satwa hasil penangkaran dengan cara permanen atau memotong pada bagian tubuh lainnya.
Hal itu untuk membedakan hasil penangkaran dan penangkapan dari alam.
Untuk memudahkan penelurusan asal usul, kata Nandang, spesimen hasil penangkaran dilengkapi dengan sertifikat.
Sertifikat itu berisi kode tanda, nama jenis, jenis kelamin, kode tanda dari induknya, tanggal lahir/menetas, tingkat generasi, nama/kode penangkar.
Pasal 21 ayat 2 disebutkan bahwa setiap orang dilarang menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkat dan memperniagakan satwa dilindungi baik dalam keadaan hidup maupun mati.
Maka, kata Nandang, barang siapa yang memiliki, memelihara, menyimpan, mengangkut dan memperniagakan satwa dilindungi dari habitat alam tidak dilengkapi izin dari Menteri akan dipidana.
“Semuanya sudah diatur dalam undang-undang Nomor 5 Tahun 1990, Pasal 40 ayat 2 dan 4 jo; pasal 21 ayat 2a dan b,” terangnya.