(CIO) — Pas mau jalan kulakan barang dagangan beberapa hari lalu. Tetiba melihat sepeda. Saya langsung foto. Saya tersenyum dan terkekeh sendiri, ingat sepeda kenangan dimasa lalu. Sepeda yang persis sama seperti saya pakai dulu. Sebagai alat transportasi buat bermain.
Sore itu, sepulang dari sekolah madrasah. Bergegas saya ganti baju dan langsung pergi mengayunkan sepeda.
Bermain sendiri di jalan tol yang belum jadi. Yang masih dipenuhi gundukan tanah liat, dengan traktor yang bekerja keras merapikan tanah liat agar tanahnya rata.
Saya disitu sembari bermain sepedaan juga menyaksikan traktor besar yang suaranya cukup berisik di telinga.
Setelah selesai menyaksikan traktor di sebelah barat itu. Saya coba kembali mengayunkan pedal. Balik arah menuju tempat pengerjaan kontruksi jalan di tempat lainnya, yang traktornya juga sama-sama besarnya di sebelah timur.
Kali ini saya ayunkan agak keras dan cepat memutar pedalnya.
Belum jauh dari tempat pertama, tiba-tiba braakkkk..
Jatuh.
Saya jatuh tersungkur dari sepeda. Bukan karena oleng atau kena lubang di depan. Pun juga bukan karena nabrak bebatuan. Entah…..tiba-tiba jatuh saja.
Saya kaget panik gitu, pake banget-bangetlah, kalau kata orang Plered sih nyebutnya ‘kapitenggengen‘.
Saya bangun lagi, merapikan diri, dan coba menahan rasa malu hahaha.
Ketika saya angkat setang sepeda, eh yang ke angkat cuma roda bagian depannya saja. “Waduh gimana ini”, gumam saya dalam hati.
Saya lihat kabel rem masih nyambung atau nyangkut ke roda bagian belakang. Cuma untuk mengangkat roda bagian belakang teramat susah.
Setelah saya amati, ternyata sepeda saya patah jadi dua.
“Waduh, kok bisa begini? Gumam saya dalam hati, setengah bingung.
Kerasa sekali bagaimana susahnya saya mengangkat dan menuntun sepeda yang patah jadi dua itu . Gimana coba bawanya? Hahaha..
Bahasa Plered-nya ‘kangelan‘ hahahaha.
Saya angkat setir, tapi bagian badannya memutar. Enggak terkontrol. Karena yang patah itu sambungan di bagian bawah jok atau sadelnya. Rantai sepeda juga copot.
Nambah panik tuh.
Lihat ke kanan dan ke kiri enggak ada teman. Hanya pegawai kontruksi jalan tol yang ngeliat dan ketawa hahahaha. Parah memang mamang tukang itu hahaha.
Sesampainya di rumah, ibu saya bilang, “kenapo kotor kabeh kuh? Kuene kenapo pit e sigar dadi loro?”
“Yombu mah, lagi enak-enake ta tumpaki pit e je, temu-temu kitae tibo oro jelas mekonon, gluntung dadi kotor kabeh.” jawab saya menceritakan kronologi kejadian hebat itu wkwkwk..
“Terus irae priben ano kang laro ble?” tanya ibu saya lagi.
“Ble, lako kang laro, kaget bae koh. Cuma kitae watir disengeni ning bapak bae. Iku sih pit e sigar dadi loro luh.” Jawab saya lagi.
“Yo wis irae adus dipit. Ganti kelambie,” suruh ibu saya.
Ingat masa itu jadi ketawa bahagia sekaligus sedih juga hahaha..
Tapi dari situlah –kenangan itu–, saya memahami Surat An Naml ayat 18-19, terutama terkait dengan senyum dan tawa Nabi Sulaiman itu.
Senyum Nabi Sulaiman itu bukan senyum dan tawa biasa. Itu senyuman akibat ia teringat tentang masa kecilnya. Bahwa Nabi Sulaiman, saya meyakini ada kenangan masa kecilnya di lembah itu, bermain disitu. Lalu tersenyumlah dan tertawalah ia mengingat masa kecilnya itu.
حَتَّىٰٓ إِذَآ أَتَوْا۟ عَلَىٰ وَادِ ٱلنَّمْلِ قَالَتْ نَمْلَةٌ يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّمْلُ ٱدْخُلُوا۟ مَسَٰكِنَكُمْ لَا يَحْطِمَنَّكُمْ سُلَيْمَٰنُ وَجُنُودُهُۥ وَهُمْ لَا يَشْعُرُونَ
فَتَبَسَّمَ ضَاحِكًا مِّن قَوْلِهَا وَقَالَ رَبِّ أَوْزِعْنِىٓ أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ ٱلَّتِىٓ أَنْعَمْتَ عَلَىَّ وَعَلَىٰ وَٰلِدَىَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَٰلِحًا تَرْضَىٰهُ وَأَدْخِلْنِى بِرَحْمَتِكَ فِى عِبَادِكَ ٱلصَّٰلِحِينَ
“Hingga apabila mereka sampai di lembah semut berkatalah seekor semut: “Hai semut-semut, masuklah ke dalam sarang-sarangmu, agar kamu tidak diinjak oleh Sulaiman dan tentaranya, sedangkan mereka tidak menyadari””
“Maka, dia (Sulaiman) tersenyum lalu tertawa karena (mendengar) perkataan semut itu. Dan dia berdoa, “Ya Tuhanku, anugerahkanlah aku ilham untuk tetap mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada kedua orang tuaku dan agar aku mengerjakan kebajikan yang Engkau ridhai; dan masukkanlah aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan hamba-hamba-Mu yang saleh.””
(***)
Penulis: Ahmad Sholeh, Pedagang Sembako.