(CIO) — Empat helai baju dan dua lembar celana berenang di kolam baskom. Pori-pori benangnya di belai lembut deterjen pengharum. 15 menit kemudian gerak tangan menari menyusuri gelembung busa. Ditemani irama bros kain bak petikan kecapi sang maestro sedang mempertontonkan keahliannya.
Senyum manis mekar merekah indah di wajah. Teringat tatkala jadi mahasiswa di suatu kota. Ya, kala itu tak ada istilah laundry celana dan kemeja. Duitnya eman, lebih berfaedah buat makan saja. Sejarah lama terulang kembali.
Melihat jemuran kain saja hatiku sudah bahagia, apalagi melihat kuku jemarimu yang kian indah. Meski hanya mampu menatap lena lewat layar android yang retak seribu atau mungkin sejuta.
Bulir air mulai berderai rapi bak pasukan paskibraka pengibar bendera sang saka. Bibir masih sempat menyunggingkan senyuman sambil bergumam dalam hati. “Cuma gerimis, hal itu tak berarti apa-apa, jangan bersedih boi.”
Setengah jam kemudian serbuan serdadu air turun membombardir apa saja yang ada di hamparan bumi. Serbuan pasukan infanteri air tanpa henti, bertubi-tubi. Seekor anak kucing peranakan anggora berlari kencang mencari tempat kering. Berteduh dari terpaan air dan terjangan angin. Menyelamatkan diri.
Di pintu pembatas ruang tengah dan ruang belakang sepasang mata ini hanya mampu menatap jemuran kain tanpa ekspresi. Dingin. Beku. Tanpa aksi apalagi reaksi. Sepertinya hati ini lagi mengidap sindrom mati suri.
Terdengar dentuman petir menggelegar mengguncang bumi. Jantung terkejut, berdegup penuh gemuruh. Kaget. Sejurus kilat menyambar diiringi dentuman petir, susul-menyusul sebanyak dua kali. Lampu listrik semaput dan akhirnya tewas, tanpa sempat mengidap gejala stroke ringan. Mengenaskan. Apalagi signal 4G, lari terbirit-birit ketakutan. Menghilang.
Ulah menghilangnya signal 4G, komunikasi tak lagi bisa terjadi. Bagai hidup di alam mimpi. Tak bisa mengirim informasi. Tak ada lagi suara tingtong penanda ada pesan masuk via aplikasi. Hening tanpa dering. Garing tanpa bising.
Cerita fiktif ini mirip seperti kisah romance yang pernah novelnya kubaca di halte bis kota. Tatkala itu lagi menuju ke kampus ungu biru di Lowanu, takut telat mengikuti ujian mid semester.
Buku novel itu covernya tanpa gambar, mungkin saja karena ia edisi khusus bajakan. Novel setebal 210 halaman berjudul; “KEKASIH (yang) HILANG”.
Sontang, Ahad (17/10/2021)
(***)
Penulis: M. Syari Faidar, Journalism.