(Cakrawalaindonesia.id) — Entahlah.
Barangkali kata itu paling pas untuk menggambarkan hati yang penuh tanya, ketika Sumatera—Aceh, Sumut, Sumbar—telah hampir menjadi padang jarak, padang terkukur, namun pemerintah pusat belum juga menetapkan bencana hidrometeorologi ini sebagai bencana nasional. Padahal, dalam sepekan saja, 442 jiwa sudah berpulang, menyisakan sunyi yang lebih keras daripada suara sirene.
Kenapa belum juga ditetapkan? Tanyakan saja pada gelondongan kayu yang hanyut, atau pada rumput yang tak lagi bergoyang. Tapi gelondongan kayu adalah saksi bisu; rumputpun sudah kehilangan suaranya. Kita hanya bisa menakar jawaban dari diam yang panjang.
Namun di balik luka itu, tersisa secercah hikmah. Rasa sosial masyarakat kembali tercongkel. Orang-orang berbondong-bondong membantu, menyalurkan tenaga, doa, dan apa saja yang bisa mereka berikan. Pada momen itu, tampak terang bedanya antara yang ikhlas dan yang riya.
Yang ikhlas, tidak muncul di layar ponsel. Tak perlu kamera, tak butuh panggung. Mereka menghayati pepatah lama: ketika tangan kanan memberi, tangan kiri jangan sampai mengetahui. Mereka berjalan diam, seperti angin subuh yang membawa kesejukan tanpa pernah memperkenalkan diri.
Lalu ada pula yang lain.
Yang ketika tangan kanan memberi, seluruh Indonesia diberitahu. Bukan cukup difoto, malah diberi endorse pula. Sedekah berubah menjadi konten. Kepedulian berganti menjadi alat pencitraan. Seakan-akan tragedi adalah peluang untuk bersinar di atas derita orang lain.
Sementara yang benar-benar ikhlas, mereka memeluk tunjuk ajar Melayu: ketika paha kanan dicubit, paha kiri ikut terasa. Luka orang lain serasa luka sendiri. Yang satu lebam, yang lain menahan sakit di dalam. Mereka menangis dalam doa, lalu bertaubat karena empati tidak butuh saksi.
Kadang geli juga hati ini. Dari peristiwa sebesar dan sesedih ini, masih saja ada yang berladang di atas bencana, mengubah tangis masyarakat menjadi panggung. Orang jenis begini tak punya muka, dan hatinya… entahlah, mungkin hanya dipinjam untuk membersihkan kakos. Ada juga yang hobi saling menyalahkan—si anu itu, si ini begini—seakan-akan tak ada satu pun yang benar. Bahkan orang bersedekah pun dianggap salah.
Inilah wajah buruk kita, bangsa yang terasa seperti baru kemarin merdeka. Masih belajar dewasa, tapi sering tersandung oleh ego dan beso, kepentingan, dan haus tampil di depan kamera.
Entahlah…
Mungkin bencana terbesar kita bukan banjir, bukan longsor, bukan badai. Mungkin bencana terbesar kita adalah retaknya nurani.
Dan ketika nurani retak, siapa lagi yang bisa kita tanya, selain rumput yang tak lagi bergoyang?
(*)
Oleh: boedak03






