Close Ads Here
Close Ads Here
Close Ads Here
Close Ads Here
ACEH  

Sharing Session Refleksi Upaya PRB, Satukan Suara Pentaheliks untuk Ketangguhan Indonesia

Sharing Session
Sharing Session Refleksi Upaya PRB, Satukan Suara Pentaheliks untuk Ketangguhan Indonesia

BANDA ACEH(Cakrawalaindonesia.id) – Puncak Acara Peringatan Bulan Pengurangan Risiko Bencana (Bulan PRB) menjadi ruang untuk mempersatukan unsur pentaheliks dalam merefleksikan upaya PRB yang dilakukan pada tahun 2024.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengusung beragam diskusi melalui _sharing session_ bersama dengan komponen pentaheliks yang menjadi mitra dalam penanggulangan bencana di Indonesia.

_Sharing Session_ yang dilakukan di Hermes Boutique Hotel pada Selasa (8/10) ini menggabungkan berbagai pembahasan mulai dari kebijakan distribusi logistik dan peralatan, rehabilitasi dan rekonstruksi, diseminasi hasil penilaian kapasitas Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), penguatan sistem penyelenggaraan kedaruratan bencana hingga membangun _Humanitarian Development Peace._

Rapat Koordinasi Logistik dan Peralatan kembali digelar untuk mengumpulkan segenap BPBD guna membahasa beragam tantangan dan solusi dalam proses pemenuhan logistik maupun peralatan tidak hanya terfokus saat masa tanggap darurat.

“Perencanaan logistik dan peralatan harus terfokus pada pemenuhan sejak masa pra-bencana,” pungkas Deputi Bidang Logistik dan Peralatan BNPB Lilik Kurniawan.

“Kita harus upayakan pada masa tanggap darurat, operasi distribusi bantuan logistik dan pengerahan peralatan sudah dapat terpenuhi terhitung sejak masa _golden time_ bencana terjadi,” tambah Lilik.

Dirinya turut menyampaikan tujuh arahan dalam rangka penguatan pemenuhan logistik dan peralatan di daerah, antara lain memperhatikan daerah rawan bencana di daerah masing-masing dan menyesuaikan kebutuhan logistik dan peralatannya; mengidentifikasi dan memelihara peralatan sehingga dapat berfungsi dengan baik saat darurat bencana; menyediakan gudang logistik dan peralatan serta sarana penunjang yang representatif; meningkatkan kapasitas sumber daya manusia pengelola logistik dan peralatan; melakukan koordinasi dengan daerah sekitar untuk rencana kesiapsiagaan logistik dan peralatan serta simulasinya; menginisiasi pembentukan klaster logistik di wilayah masing-masing; serta memanfaatkan informasi geospasial dan aplikasi inaLOGPAL dan Lapor Logpal.

BNPB memberikan apresiasi kepada BPBD tingkat provinsi maupun kabupaten/kota atas upaya perencanaan serta mendorong terbentuknya klaster logistik.

Penghargaan ini diberikan kepada BPBD Provinsi Aceh, Nusa Tenggara Timur, Bali, Kalimantan Tengah, Kabupaten Banjarnegara, Kabupaten Bekasi dan Kabupaten Kudus atas terbentuknya klaster logistik di daerahnya.

Kemudian penghargaan diberikan kepada BPBD Provinsi Kalimantan Selatan, Maluku Utara, Sumatera Barat, Kabupaten Kuantan Singingi, Kabupaten Halmahera Barat, Kabupaten Nagan Raya dan Kabupaten Buton Utara atas terpenuhinya perencanaan logistik dan peralatan.

Adapun Rapat Koordinasi ini menghadirkan Wakil Kedutaan Besar Australia, US Consul General in Medan, USAID Mission Director in Humanitarian Assistance Office dan SIAP SIAGA sebagai bentuk komitmen bersama dalam upaya pemenuhan logistik dan peralatan yang lebih efektif dan efisien pada masa yang akan datang.

Tidak hanya dari sisi logistik dan peralatan, kebijakan rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana turut ditekankan untuk berorientasi pada mitigasi dan pencegahan.

“Sejak masa tanggap darurat, operasi rehabilitasi dan rekonstruksi sudah harus berjalan, perencanaan cepat dan tepat membantu mengurangi masa penderitaan masyarakat terdampak, kita pastikan proses pemulihannya memenuhi prinsip _build back better, safer dan sustainable_,” tegas Deputi Bidang Rehabilitasi dan Rekonstruksi BNPB Jarwansyah pada _Sharing Session_ Regulasi Bidang Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pascabencana.

“Perencanaan dan kebijakan rehabilitasi dan rekonstruksi yang efektif akan menjadi senjata kuat dalam upaya mitigasi dan pencegahan pada masa pra-bencana, kita harus ingat siklus bencana yang tidak pernah berhenti, semua tahap saling berkaitan satu dengan lainnya,” imbuh Jarwansyah.

Refleksi upaya PRB ini juga dinilai secara kuantitatif, khususnya terkait lembaga penanggulangan bencana daerah yaitu BPBD melalui Sistem Penilaian BPBD (SIP-BPBD) oleh Yayasan Pengurangan Risiko Bencana (YPRB) yang disampaikan pada _Sharing Session_ Diseminasi Hasil Penilaian Kapasitas Lembaga Penanggulangan Bencana Daerah.

Berdasarkan hasil penilaian SIP-BPBD kepada 104 BPBD di seluruh Indonesia, terdapat 15 BPBD atau 14% yang masuk pada kategori level 1 yang di mana masih memiliki keterbatasan dari sisi administrasi sehingga membutuhkan pendampingan dan penguatan dari berbagai unsur terkait.

Kemudian terdapat 84 BPBD atau 81% BPBD yang berada pada level 2 yaitu level transisi di mana fokus pengembangan BPBD diarahkan kepada aspek identitas lembaga, organisasi dan budaya kerja, perencanaan dan penganggaran, serta kolaborasi dan kerja sama.

Sedangkan pada level 3 hanya 5 BPBD atau 5%, yaitu BPBD yang telah memiliki dasar kelembagaan yang kuat secara regulasi, kompetensi, sarana prasarana, maupun penganggaran dan kemitraan, sehingga organisasi BPBD telah dianggap mandiri dalam menjalankan peran penanggulangan bencana di daerah.

Direktur Sistem Penanggulangan Bencana BNPB Agus Wibowo mengapresiasi hasil penilaian kuantitatif ini yang mampu memperlihatkan gambaran terukur sebagai dasar dukungan pemerintah pusat untuk penguatan BPBD.

Dirinya menyatakan penguatan kelembagaan BPBD menjadi upaya pengurangan risiko bencana di daerah, karena memiliki sistem kelembagaan dengan kapasitas sumber daya manusia, anggaran maupun peralatan yang memenuhi syarat dalam menghadapi potensi bencana.

Hasil penilaian ini menunjukan 10 peringkat teratas kelembagaan BPBD, mulai dari peringkat 10 yaitu Kota Padang (level 2), Kabupaten Langkat (level 2), Kota Sibolga (level 2), Kabupaten Semarang (level 2), Kabupaten Bener Meriah (level 2), Kabupaten Serang (level 3), Kota Magelang (level 3), Kabupaten Purworejo (level 3), Kabupaten Banyumas (level 3) hingga peringkat pertama yakni Kabupaten Buleleng (level 3).

Refleksi upaya pengurangan risiko bencana juga mengacu pada kejadian bencana yang terjadi di masa lalu, yakni pada penanganan darurat di Cianjur dan Demak.

Pada agenda _sharing session_ Kebijakan Penguatan Sistem Penyelenggaraan Kedaruratan Bencana : Pembelajaran Penanganan Darurat Cianjur dan Demak, Direktur Sistem Penanggulangan Bencana BNPB Agus Wibowo menekankan pentingnya legalisasi dan struktur lembaga yang lengkap, perencanaan anggaran, koordinasi antar-dinas dan lembaga daerah, pengembangan kapasitas sumber daya manusia dan memastikan pengarsipan lembaga dengan baik sebagai dasar evaluasi dan rekomendasi strategis untuk misi penanggulangan bencana.

Kepala Pusat Pengendalian Operasi (Pusdalops) BNPB Bambang Surya Putra menyatakan penguatan fungsi Pusdalops di daerah juga perlu dilakukan agar alur pelaporan kejadian bencana dapat berjalan dengan baik serta pelatihan manajemen di level Kepala Daerah sehingga Kepala BPBD memiliki kapasitas pengambilan keputusan dan kepemimpinan operasi tanggap darurat yang baik.

Pada kesempatan tersebut, Kepala Subdirektorat Dukungan Pengerahan Sumber Daya Manusia pada Kedeputian Bidang Penanganan Darurat BNPB Yustam Syahril menjelaskan alur dasar penetapan status tanggap darurat, regulasi maupun kebijakan untuk pemerintah daerah memaksimalkan upaya penanggulangan bencana melalui dukungan dari pemerintah pusat.

Selain pada ruang lingkup bencana alam, BNPB membahas penanggulangan bencana pada situasi konflik sosial pada agenda _Sharing Session_ Membangun Nexus Humanitarian Development Peace (HDP) : Peran Sektoral dalam Penanggulangan bencana pada Situasi Konflik Sosial.

Hal ini didasari pada beberapa krisis yang pernah dialami Indonesia dan didorong oleh ancaman bencana alam dan konflik sosial yang perlu direspon secara komprehensif yakni kejadian tsunami Aceh pada tahun 2004 di wilayah konflik antara pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), gempabumi Padang tahun 2009 di mana terjadi konflik pascabencana antara pemerintah dan masyarakat diakibatkan pendistribusian bantuan yang tidak merata, penjarahan pada masa tanggap darurat gempabumi di Palu, serta beragam kejadian maupun isu sosial yang terjadi saat gempabumi Cianjur.

Kompleksitas atas potensi risiko konflik sosial yang dapat muncul ketika bencana alam terjadi harus diantisipasi untuk melindungi masyarakat, khususnya kelompok rentan seperti perempuan, anak-anak serta orang lanjut usia.

Agenda ini menghadirkan perwakilan dari _United Nations Office for the Coordination of Humanitarian Affairs_ (UN OCHA), UN Women, Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Sosial, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak serta Badan Nasional Penanggulangan Terorisme.

Hasil dari pembahasan ini melahirkan pemahaman para pelaku penanggulangan bencana bagaimana pendekatan yang komprehensif serta merumuskan arah kebijakan dan memadukan secara integratif terkait regulasi untuk mencegah terjadinya konflik sosial, terorisme hingga radikalisme.

_Sharing session_ pada Puncak Acara Bulan PRB dilakukan mulai 8 hingga 9 Oktober 2024 yang tersebar di berbagai tempat, yaitu di Hotel Kryria, Hotel Ayani, Hermes Boutique Hotel, Aula Perpustakaan Wilayah Provinsi Aceh, Universitas Muhammadiyah Aceh dan Stikes Muhammmadiyah Aceh.

Segenap komponen pentaheliks mulai dari pemerintah pusat dan daerah, masyarakat, dunia usaha, media massa dan akademisi bergabung untuk berdiskusi terkait refleksi upaya PRB serta memastikan langkah penguatan PRB ke depan untuk membangun ketangguhan berkelanjutan serta budaya sadar bencana di seluruh wilayah Indonesia.