JAKARTA(Cakrawalaindonesia.id) – Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif/Kepala Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf/Kabaparekraf) Sandiaga Salahuddin Uno mengungkapkan gagasannya untuk menghadirkan Sound Healing sebagai metode pengobatan (_wellness_) alternatif yang menggunakan alat musik tradisional atau instrumental untuk kesehatan jiwa di desa wisata yang ada di Indonesia.
Menparekraf Sandiaga saat menghadiri kegiatan “_Talkshow_ Sound Healing” di Balairung Soesilo Soedarman, Gedung Sapta Pesona, Jakarta, Rabu (24/7/2024) mengungkapkan berdasarkan data WHO tahun 2019 ada 970 juta orang di seluruh dunia yang hidup dengan gangguan mental, kecemasan, dan depresi sehingga perilaku ini mengganggu hubungan dengan kerabat dekat dan keluarga.
“Waktu saya bertugas di DKI (sebagai Wagub DKI), saya bersama Prof. Noriyu melakukan penelitian. Dari seluruh warga Jakarta yang diteliti ternyata hampir 20 persen mengalami _some sort of mental health issue_. Sehingga hal ini yang perlu kita sadari, kita fahami, dan kita deteksi secara dini,” kata Sandiaga.
Sektor pariwisata dan ekonomi kreatif erat kaitannya dengan _mental health issue_, dimana semenjak pandemi COVID-19, wisata minat khusus _wellness tourism_ banyak digemari wisatawan utamanya generasi Z yang sangat _aware_ terhadap isu tersebut.
Kemenparekraf sendiri telah mengembangkan desa wisata yang saat ini ada sekitar 6.016 desa wisata yang tergabung dalam Jadesta (Jaringan Desa Wisata) di seluruh Indonesia. Menurut Sandiaga, desa wisata sebagai salah satu destinasi _wellness tourism_ dapat diisi dengan Sound Healing sebagai daya tarik wisata. Selain yang sedang berjalan yakni pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) kesehatan di Sanur, Bali.
“Tiap daerah di Indonesia memiliki alat musik khasnya masing-masing. Dan ini yang mau coba saya lihat, karena di Rumah Sakit Marzoeki terdapat angklung. Nanti kita sesuaikan dengan desa wisatanya. Misal di Jawa Barat mungkin dengan angklung, di Sulawesi Utara dengan kolintang, di Jawa Tengah dengan gamelan,” ujar Sandiaga.
“Jadi buat saya ini menambah produk wisata dan juga bagian dari memberikan layanan pariwisata kepada market yang semakin beragam dan gen Z ini sangat menangkap _issue_ mengenai lingkungan, _mental health_, musik. Ini sebagai bagian dari pada ekosistem secara keseluruhan,” kata Sandi.
Harpist, Actor, Music, Sound, and Frequency BioResonance Practitioner, Maya Hasan, CMP mengatakan pada dasarnya Indonesia sangat kaya dengan alat musik tradisional. Dan musik ini bukan hanya dapat menjadi tindakan kuratif melainkan juga preventif.
“Dan musik yang disarankan adalah musik instrumentalia sehingga tidak ada memori-memori jelek yang terkait dengan misalnya dengan kata-kata, kejadian dalam hidupnya,” kata Maya.
Maya menambahkan kehadiran musik di institusi kesehatan juga tidak hanya untuk menolong pasien tapi juga para tenaga kesehatan, dimana _stress level_ mereka bisa menurun dan mereka bisa lebih optimal dalam bekerja.
“Bahkan dengan musik bisa menurunkan kadar anastesi yang digunakan. Jadi untuk pasien-pasien lansia kalau perlu ada operasi bisa memudahkan minimum anastesi jadi mengurangi toksin-toksin yang masuk ke dalam tubuh,” kata Maya.
Direktur Utama Pusat Kesehatan Jiwa Nasional – RS Marzoeki Mahdi, Dr. dr. Nova Riyanti Yusuf, Sp.KJ, menjelaskan ada banyak hal yang dapat mempengaruhi kesehatan mental. Salah satunya juga dapat dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti perubahan iklim, polusi, hingga kemacetan di suatu kota.
Sehingga diperlukan beragam aktivitas guna mempersiapkan dan mendukung orang dengan gangguan jiwa untuk dapat mandiri dan kembali ke masyarakat serta berfungsi kembali untuk bekerja.
“Jadi yang penting tidak terjadi _self-diagnosis_, itu yang selalu benar-benar kita imbau, _please get some help_ dan jangan _stigmatize yourself_ bahwa kamu mengalami gangguan jiwa, belum tentu. Tapi _aware_ tentang _mental health is good_,” ujar Noriyu, sapaan akrab Nova.