Oleh: Al Firdaus, Tenaga Pendidik.
(CIO) — Deringan nada ringtone WhatsApp berkali-kali berbunyi. Sebenarnya aku lagi malas untuk membuka pesan WhatsApp karena isinya paling iklan berita-berita tidak jelas yang selalu dimunculkan di grup.
Sebenarnya ada niat dalam diriku atau ada keinginan untuk membuka pesan WhatsApp walaupun itu hanya seperlunya saja.
Akhirnya aku mencoba melihat pesan yang muncul di grup menulis media online. Ternyata begitu banyak tulisan mengenai berbagai topik menarik. Maklum memang sejak lama aku memimpikan supaya bisa nulis di media, akhirnya Allah berikan jalan. Ternyata banyak sekali keluh dan tawa dari seorang penulis.
Setelah melewati masa yang cukup panjang hampir 8 tahun menulis, novel pun sudah pernah diterbitkan. Ditambah terkadang tulisan kecilku pun beberapa kali dimuat di surat kabar ternama tanah air. Terkadang dengan keisengan sendiri, aku mencoba membuat cerpen.
Siang itu, WhatsApp berdering nyaring ketika aku sedang membaca buku Riyadus Sholihiin sebagai bahan untuk mengisi kajian online di sekolah. Mataku terkejut mendengar kabar. Berita dan infonya aku cek ternyata valid. Aku coba menghubungi admin grup menulis yang di buat oleh Pak Anab Afifi.
Antara percaya dan tidak, karena dimentori oleh seorang penulis buku Banjir Darah yang bukunya menjadi best seller. Membuatku seakan mendapatkan anugerah yang selama ini aku cari.
Aku mulai aktif lagi menulis. Dan bergabung dalam grup menulis yang dibimbing oleh beliau. Grup menulis itu banyak dari berbagai macam kalangan, dan latar belakang. Bahkan ada yang aktif mengirimkan tulisan-tulisan mereka. Seperti Pedagang Sembako, Mahasiswa Luar Negeri, Guru SD dan Dosen serta dari berbagai profesi lainnya.
Setiap minggu ada saja tulisan yang masuk dan diterbitkan di media online. Termasuk tulisanku sendiri. Hal tersebut merupakan sebuah kebanggaan yang tak ternilai.
Ada rasa kebanggaan tersendiri dimentori oleh beliau, Pak Anab Afifi. Apalagi ketika aku mengajukan beberapa tulisan yang langsung disambut hangat oleh beliau.
“Tulis dan tulis baru perbaiki.” ucapnya dalam chatt pribadi.
Aku juga pernah mengirimkan novel utuh, yang jelas novel itu sudah komplit ke Pak Anab. Aku penasaran bagaimana reaksi beliau setelah membaca novel ke empat yang aku buat berdasarkan kisah nyata.
Beliau langsung bertanya,”Ini novel tentang apa. Sudah pernah baca novel Tere Liye yang berjudul Sunset. A. Fuadi, Anak Rantau. A. Fuadi itu dimentori oleh penulis kelas dunia.” ucapnya lugas di chatt pribadi.
Saat itu juga aku terhenyak. Terasa kecil jiwa ini mendengar pernyataan beliau. Sekelas A. Fuadi belajar pun dari penulis terbaik dunia. Kalimat itu membuatku harus banyak belajar lagi dalam dunia penulisan. Termasuk penulis fenomenal Andrea Hirata pun belajar menulis dengan mengikuti program sastra kelas dunia.
Mulai dari situ Pak Anab mulai mencecar novelku. “Awali novel dengan konflik tokoh utama. Karena konflik novelmu sudah ada.” katanya.
Ia menambahkan lagi, “Kemudian untuk paragraf usahakan jangan terlalu rapat. Beri jarak.”
Dari wejangan itu menuntutku kembali untuk belajar dan mengasah tulisanku supaya lebih tajam dan berbobot. Itu kenangan manis yang tak pernah kulupa. Dan itu masih meninggalkan jejak dalam diriku. Apalagi mendengar kabar beliau meninggal dunia. Ada rasa kehilangan mentor yang pernah aku temui.
Moga ilmu yang beliau berikan kepadaku dan teman-teman menjadi warisan amal jariyah beliau di sisi Allah SWT.
Akhirnya yang dapat kupahami bahwa menulis adalah mencetak kebaikan melalui sebuah tinta. Oleh sebab itu jangan pernah berhenti untuk menulis.
Selamat jalan Sang Penulis, Pak Anab Afifi penulis Buku Banjir Darah.
(***)
Profesi penulis saat ini sebagai Guru SD Tahfiz Jabal Rahmah dan SD Islam Cikal Cendekia Tangerang.